Beban biaya hidup semakin meningkat dari waktu ke waktu seiring perkembangan zaman, perubahan gaya hidup, dan beraneka ragamnya kebutuhan. Sementara di sisi lain, angka harapan hidup yang semakin meningkat turut menjadikan tanggungan perekonomian keluarga berlangsung lebih lama.
Angka harapan hidup yang meningkat sebenarnya merupakan sebuah kabar baik karena kita bisa bersama-sama dengan orang terdekat, keluarga, orang tua, ataupun anak dalam waktu yang lebih lama. Namun, sayangnya hal itu seringkali tidak dibarengi dengan kemampuan finansial yang mumpuni.
Orang-orang yang berumur panjang alias lansia (lanjut usia) ini sebagian besar di antaranya justru menggantungkan hidupnya pada orang lain. Berdasarkan data statistik prosentasenya mencapai 77.82% dari total lansia yang ada.
Rasio ketergantungan lansia pun turut mengalami peningkatan selama beberapa tahun terkahir. Di mana pada tahun 2021 yang lalu diperkirakan untuk 100 penduduk usia produktif akan menanggung setidaknya 17 orang penduduk lansia.
Kultur di mana masa tua seseorang digantungkan pada anak-anaknya mungkin sudah kadung membudaya sehingga bukan perkara mudah untuk mengubahnya.Â
Para orang tua yang ingin beranjak dari kultur ini tidak serta merta bisa berlepas darinya. Perlu beberapa fase perubahan mulai dari niatan untuk tidak ingin menjadi beban bagi anggota keluarga yang lain sampai dengan titik ketika para orang tua tersebut sudah memiliki kesiapan finansial tatkala masa pensiunnya tiba.
Masing-masing fase tersebut akan sangat menentukan pencapaian menuju fase berikutnya.Â
Dan berikut merupakan tiga fase yang mesti dilalui oleh para orang tua dan calon orang tua terkait bagaimana mereka seharusnya mempersiapkan diri menyambut hari tuanya.
>> Fase Menggugah Kesadaran
Ini merupakan fase kunci yang menjadi penentu apakah kita akan berlanjut ke tahap selanjutnya atau tidak. Tanpa adanya kesadaran maka kita tidak akan pernah mengambil langkah untuk memulai. Tidak adanya motivasi untuk memperjuangkan sesuatu merupakan imbas dari ketiadaan kesadaran di dalam diri kita.
Berkaitan dengan periode masa pensiun, hal itupun juga harus dimulai dari adanya kesadaran masing-masing orang untuk menganggap hal itu sebagai sesuatu yang penting. Dan kita perlu mencari tahu apa saja kiranya sesuatu yang penting tersebut.
Sebagai orang tua, tidak ada hal lain yang jauh lebih penting dibandingkan nasib dari putra dan putri mereka sendiri di masa depan.Â
Setiap orang tua tentu berharap agar kelak anak-anaknya bisa berhasil dalam segala hal di kehidupannya.
Kita selaku orang tua tentu ingin anak-anak bisa hidup damai, tenang, sejahtera, berkecukupan, dan jauh dari tekanan hidup yang membuat mereka terpuruk.Â
Kita tentu akan sangat bersedih jikalau menyaksikan buah hati kita gelisah, murung, atau bahkan stres akan segala hal yang menerpa hidupnya. Sehingga sebagai orang tua tentunya kita memiliki keinginan untuk menjauhkan hal itu dari mereka.
Keberadaan beban yang berlapis di mana seseorang dihadapkan pada tanggungan ekonomi orang tuanya dan juga untuk anak-anaknya sendiri merupakan potret dari generasi sandwich yang selama ini masih menjadi momok dalam perjalanan hidup seseorang.
Padahal generasi sandwich ini merupakan kelompok yang lebih rentan terhadap paparan stres. Yang dengan kata lain saat orang tua membiarkan dirinya bergantung sepenuhnya pada anak-anak mereka sendiri maka hal itu sudah merupakan bentuk "kontribusi" kita dalam meningkatkan beban di kehidupan sang anak.
Seorang anak yang menafkahi orang tuanya merupakan sebuah perbuatan baik. Tapi alangkah lebih baik jikalau hal itu dilakukan tanpa tekanan "harus" yang menghadirkan pilihan antara hidup dan mati.Â
Kita sebagai orang tua perlu berupaya untuk menjadi mandiri dalam memenuhi kebutuhan pribadi tanpa perlu bergantung kepada siapapun.
Ironisnya, baru sekitar 30% saja warga Indonesia yang sudah memiliki dana pensiun atau sudah mempersiapkan diri sejak jauh-jauh hari sampai tiba waktunya masa pensiun itu kelak.
>> Fase Meningkatkan Kualitas Literasi Keuangan
Ketiadaan atau kurangnya persiapan seseorang dalam menyambut masa pensiun pada umumnya disebabkan oleh minimnya tingkat literasi keuangan yang ia miliki.Â
Di Indonesia sendiri tingkat literasi keuangan ini masih terbilang rendah. Pada tahun 2019 yang lalu tingkat literasi keuangan baru mencapai 38.03%. Kalah jauh dari beberapa negara ASEAN lain seperti Singapura (98%), Malaysia (85%), dan juga Thailand (82%).
Biarpun tingkat literasi keuangan yang kita miliki saat ini masih tergolong kecil, paling tidak hal itu masih sedikit lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Internet cukup banyak berkontribusi membangun literasi masyarakat terhadap aspek-aspek terkait keuangan. Sehingga kita yang tumbuh besar di era internet ini seharusnya bisa lebih bijaksana dalam menyikapi hari depan yang rentan dengan ketidakpastian tersebut.
Saat ini, hampir semua hal bisa kita cari dan dapatkan aksesnya. Termasuk juga dalam upaya meningkatkan kualitas literasi yang kita miliki. Tergantung pada diri kita masing-masing apakah bersedia untuk terus belajar atau abai dan menyesalinya kemudian.
Setidaknya beberapa hal berikut bisa dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan literasi keuangan kita, di antaranya:
- Mengalokasikan waktu secara konsisten setiap minggunya minimal 1 jam untuk mengelola dan merencanakan keuangan kita.
- Mengalokasikan waktu setidaknya 30 menit seminggu untuk belajar, mengenal, dan memahami segala sesuatu perihal keuangan pribadi dengan membaca, menonton podcast, mengikuti seminar, dan sejenisnya.
- Berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki pengalaman di bidang ini. Khususnya dengan mereka yang telah terbukti berhasil mengelola keuangan pribadi mereka masing-masing.
- Membuat simulasi keuangan.
Sebenarnya ada cukup banyak perbendaharaan informasi tersebar di internet yang bisa mengajari kita beragam pengetahuan tentang keuangan. Tinggal kita pilih dan pilah mana yang sekiranya paling sesuai untuk diterapkan. Kita bisa menjalin komunikasi dengan perencana keuangan bersertifikat CFP yang memang memiliki kapabilitas untuk memberikan pengarahan sesuai koridor.
>> Fase Mengeksekusi Rencana Tindakan
Pada umumnya memang fase eksekusi merupakan fase terberat untuk dijalankan. Karena di sini kita dituntut untuk mempraktikkan informasi dan juga wawasan yang kita miliki dalam tindakan nyata.
Berbeda dengan membaca literatur, risiko yang mengintai pun juga lebih nyata. Bukan sebatas hitung-hitungan di atas kertas saja. Salah-salah kalau sampai terjebak pada aksi yang melewati batas maka tabungan yang sedianya dipakai untuk menunjang masa pensiun malah amblas dalam sekejap.
Pada titik ini terkadang kita dihadapkan pada situasi penuh keraguan apakah tindakan yang dilakukan saat ini akan benar-benar memberikan dampak positif bagi masa depan atau sebaliknya. Terlebih hadirnya tekanan mengenai padatnya jumlah kebutuhan atau keinginan saat ini senantiasa mempengaruhi kita untuk lebih diprioritaskan.
Sehingga penting kiranya bagi kita untuk menengok beberapa orang yang terbukti berhasil dan meraih kehidupan sejahtera dimasa pensiunnya agar kita senantiasa termotivasi untuk mewujudkan niatan tersebut.
Karena pada akhirnya kita sendirilah yang menentukan dan memilih apakah akan menjadi pensiunan yang sejahtera, atau tetap bekerja keras meskipun sudah tua renta, atau menyerah dan menjadi orang yang bergantung sepenuhnya kepada orang lain untuk mempertahankan hidup.
Salam hangat,
Agil S Habib
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI