Anak merupakan anugerah Sang Pencipta yang dititipkan kepada para orangtua untuk dirawat, dibesarkan, dididik, serta dilindungi. Ia adalah buah hati dan bagian dari diri orangtua yang kelak akan melanjutkan nilai-nilai dari sebuah keluarga. Sehingga kehadirannya akan disambut dengan suka cita dan bahagia.
Akan tetapi, terkadang Sang Pencipta memiliki rencana yang berbeda. Dia menganugerahi sebagian orangtua anak-anak dengan kondisi istimewa. Yang mungkin oleh sebagian orang disebut tidak sempurna, diliputi kekurangan fisik, dan sebagainya.
Meskipun begitu, Sang Pencipta sejatinya tidak pernah salah dalam menentukan suatu keputusan, dalam menentukan sebuah pemberian, dalam menganugerahi para orang tua sebuah amanah untuk dijaga.
Hanya saja memang realitas seringkali berkata lain. Tidak sedikit dari para orang tua yang justru berkeluh kesah terhadap takdir Tuhannya. Hanya sekitar 3 dari 10 orang tua yang bersedia menerima keadaan putra-putri mereka istimewa kondisinya. Bahkan tantangan terbesar dalam menangani Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) justru berasal dari orang tua yang malu[1].
Mungkin kita bisa memahami mengapa para orangtua tersebut berlaku demikian. Tentu setiap orang mendambakan fisik anak-anaknya yang sempurna dalam definisi umum yang kita tahu selama ini. Padahal sebenarnya kesempurnaan itu relatif bergantung pada persepsi dan paradigma umum yang tersebar di masyarakat.
Penolakan atau ketidakterimaan terhadap anugerah istimewa tersebut adalah kesalahan pertama yang merenggut hak ABK untuk mendapatkan atensi yang sama. Bahkan semestinya mereka mendapatkan perhatian lebih sebagai kompensasi atas "kekurangan" yang sebenarnya tidak mereka harapkan.
Kita mungkin pernah mendengar sosok Nick Vujicic, seorang difabel yang fenomenal dengan kisah sukses yang luar biasa. Ia tumbuh dan berkembang menjadi sosok hebat dan menginspirasi berkat cinta kasih kedua orangtuanya yang menerima keadaan diri Nick dengan apa adanya sebagai sebuah rencana dari Sang Pencipta[2].
Senada dengan apa yang dialami oleh Nick, saya juga memiliki seorang saudara yang memiliki kelainan fisik bawaan semenjak lahir. Ia memiliki gangguan gerak yang membuatnya sukar beraktivitas dengan normal. Berbicara pun kadang terdengar tidak jelas. Singkat kata, ia dipandang sebagai orang yang cacat kondisi fisiknya.
Namun, hampir semua anggota keluarga kami menyayanginya. Ia disayangi dan dihormati sebagaimana layaknya saudara. Ia adalah adik bagi sebagian saudaranya. Dan ia juga merupakan kakak bagi saudara yang lainnya.
Berseda gurau adalah hal yang biasa dengannya. Kami tidak pernah membatasi komunikasi meskipun sebenarnya ia sedikit berbeda. Ia tidak bisa berlari seperti halnya kami pada umumnya.Â
Ruang geraknya terbatas pada yang begitu-begitu saja. Berjalan seperti sempoyongan. Tapi kami tidak pernah meremehkannya dengan segala keterbatasan itu.
Bahkan bisa dibilang kami sangat mengaguminya karena cita-cita besar yang ia miliki. Mungkin ia adalah satu-satunya orang di keluarga kami yang secara terang-terangan memiliki impian untuk menjadi seorang kyai. Menjadi ustadz. Pengajar ilmu agama. Yang mana hal itu sudah ia perjuangkan semenjak usia belia hingga saat ini.
Wajahnya senantiasa memancarkan antusiasme. Bukan tatapan sayu yang pasrah dan marah atas kondisinya. Karena ia berkeyakinan bahwa Sang Pencipta memang telah membuatkan rencana yang luar biasa untuknya.
Dalam hal ini kita belajar sesuatu yang penting bahwa rekan, kerabat, saudara, atau teman-teman kita yang diciptakan dengan kondisi istimewa tersebut tetap juga merupakan manusia seperti halnya kita. Mereka berhak diperlakukan sama baiknya seperti yang lain.
Adapun beberapa hal yang mungkin dapat kita lakukan sebagai suatu upaya mendukung pertumbuhan ABK sehingga berkembang menjadi pribadi luar biasa diantaranya adalah:
>> Kasih sayang yang sama
Dalam hal ini kasih sayang diperlukan dari para orangtua, rekan, kerabat, saudara, ataupun teman. Bukannya penolakan hingga bullying yang justru memperburuk keadaan.
>> Toleransi yang sesuai keadaan
Kita harus memahami bahwa mereka yang secara fisik istimewa memiiliki keterbatasan tertentu yang penting untuk kita sadari. Tujuannya, selain sebagai bentuk simpati hal itu juga merupakan cara untuk menghargai. Karena beberapa hal terkadang harus ditoleransi seiring kapasitas yang mereka punya secara fisik.
>> Membaur seperti biasa
Mereka mungkin memang berbeda. Namun sebenarnya mereka juga memiliki perasaan yang sama dengan kita. Mereka butuh perhatian dan komunikasi layaknya orang-orang pada umumnya. Mereka pun butuh bicara dan diajak bercanda. Jangan mengabaikan mereka hanya karena mereka sedikit berbeda dengan kita.
>> Memberikan role model acuanÂ
Keberadaan role model bisa menjadi pelecut semangat bagi ABK yang oleh sebagian orang dipandang tidak memiliki masa depan. Nick Vujicic adalah mungkin salah satu sosok yang bisa menjadi inspirasi. Di Indonesia sendiri ada sosok Habibie Afsyah, digital marketer sukses meskipun memiliki keterbatasan fisik.
Pada momen Hari Anak kali ini alangkah baiknya apabila kita menengok kembali keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus tersebut agar senantiasa mendapatkan atensi yang layak dan perhatian yang tepat sehingga bisa turut berkembang menikmati zaman sebagaimana anak-anak lain pada umumnya.
Lindungi, sayangi, hormati, dan dukung mereka menuju sesuatu yang besar di masa depan.
Salam hangat,
Agil S Habib
Refferensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H