Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kominfo Blokir Platform, Membuka Peluang atau Cuma Bikin Berang?

2 Agustus 2022   06:29 Diperbarui: 2 Agustus 2022   06:34 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa platform publik dari luar negeri diblokir Kominfo seiring pemberlakuan kebijakan PSE | Sumber gambar : Kompas.com / Antara Foto / Muhammad Adimaja

Beberapa platform dari luar negeri yang beroperasi di ruang digital dalam negeri beberapa waktu terakhir ini sebagian diantaranya sudah mengalami pemblokiran seiring pemberlakuan aturan kebijakan Penyelenggasara Sistem Elektronik (PSE) oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Yahoo, PayPal, Steam, Epic Games, Dota, Counter Strike, hingga Origin[1] adalah beberapa platform yang harus menerima kenyataan pahit tidak dapat lagi diakses oleh pengguna di Indonesia. Khususnya melalui akses resmi non VPN.

Pemblokiran tersebut mungkin merupakan kerugian tersendiri bagi platform yang bersangkutan. Akan tetapi hal itu sebenarnya juga merupakan kerugian bagi penggunanya, terutama warga Indonesia yang memetik manfaat dari penggunaan platform-platform tersebut.

Sudah bukan rahasia lagi kalau e-Sport media menjalani profesi baru di ruang digital. Sehingga ketika akses untuk mempergunakan game terkendala maka itu artinya aktivitas orang-orang yang berprofesi disana pun turut terhambat.

Demikian pula bagi penggula aplikasi PayPal yang umumnya menjadi media pembayaran untuk bertransaksi dengan pihak-pihak di luar negeri, secara otomatis pemblokiran tersebut juga akan sangat mengganggu aktivitaas transaksional mereka.

Maka tidak mengherankan apabila banyak diantara kita yang berang dengan kebijakan Kominfo ini. Mereka merasa dirugikan.

Platform Lokal

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Dirjen Aptika), Semuel Abrijani, berdalih bahwa penutupan akses dari beberapa platofrm raksasa tersebut justru bisa menjadi peluang bagi layanan platform lokal[2]. Namun sayangnya, apa yang dimaksud oleh Dirjen Aptika tersebut masih bisa dibilang belum merata.

Hanya sebagian dari platform lokal yang benar-benar mampu mengakomodasi kepentingan pengguna platform sejenis utamanya yang berasal dari luar negeri dan menjadi andalan untuk dipergunakan selama ini.

Hal ini sebenarnya merupakan sebuah tamparan bagi para developer platform lokal agar bisa mengembangkan aplikasi yang mampu memenuhi ekspektasi pengguna sekaligus bisa berbicara di kancah dunia.

Bagaimanapun juga, penyebaran internet di Indonesia telah demikian masif. Dari total penduduk tercatat di Indonesia sebesar 277.7 juta jiwa per Januari 2022 lalu, sekitar 204.7 juta diantaranya telah mengakses internet[3]. Dengan demikian, sudah sekitar 73.7% orang Indonesia yang berinteraksi dengan internet.

Tentunya interaksi tersebut tidaklah sebatas memelototi media sosial (medsos) saja. Ada sebagian diantaranya yang menjalankan aktivitas bisnis bersama relasi didalam ataupun luar negeri, ada yang menggunakannya untuk bermain game, dan lain sebagainya.

Semua kepentingan tersebut tentunya perlu diakomodasi. Mengingat ruang digital merupakan tempat yang semestinya bisa dijamah oleh siapa saja tanpa adanya kekangan yang menghambat. Jikalau suatu kebijakan negara dimaksudkan sebagai upaya penertiban maka seharusnya hal itu juga mesti didasari oleh semangat untuk mengutamakan kebaikan bersama.

Katakanlan jika suatu kebijakan pemblokiran tidak diberlakukan maka hal itu bisa dianggap melanggar ketentuan undang-undang. Namun, apabila dilaksanakan maka akan memicu berang di masyarakat. Maka dalam hal ini setiap pihak tidak semestinya untuk keukeuh dengan argumentasinya masing-masing.

Alternatif pemblokiran memiliki efek samping. Demikian pula tidak melakukan pemblokiran juga memberikan hal serupa. Bagaimana jika pemblokiran hanya dilakukan secara "pilih kasih" saja? Tentunya hal itu akan memicu kecemburuan dan anggapan adanya diskriminasi.

Maka dari itu diperlukan alternatif baru yang mampu mengakomodasi semua pihak. Barangkali pembayaran denda oleh aplikasi yang tidak menunaikan kewajiban mendaftar PSE bisa menjadi opsi. Dengan begitu, efek jeranya hanya akan dirasakan oleh pemilik platfor saja sementara publik yang mengakses akan tetap baik-baik saja.

Sebenarya hingar-bingar pemblokiran ini bisa menjadi kesempatan emas bagi platform lokal untuk unjuk gigi. Menampilkan layanan berkualitas yang mampu menjadi solusi alternatif dari beberapa kesulitan yang timbul akibat efek pemblokiran tersebut.

Tapi sayangnya, hal ini mungkin luput dari perkiraan, kurang terpikirkan, atau bisa jadi terabaikan saat rencana kebijakan PSE ini diberlakukan. Padahal seharusnya Kominfo memiliki roadmap yang lebih powerful tatkala hendak menegakkan sebuah peraturan perundangan.

Bukan sebatas narasi menegakkan aturan tanpa pandang bulu sementara efek samping dan jangka panjangnya tidak dipikir masak-masak terlebih dahulu.

Semoga ruang digital kita akan semakin baik kedepannya.

Salam hangat,

Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun