Forecasting memang berperan penting dalam mengkalkulasi taksiran angka kebutuhan atau permintaan dimasa depan. Semakin akurat hasil peramalan yang dilakukan maka akan semakin baik. Persiapan produksi menjadi lebih tertata dan tidak kelabakan. Sehingga dalam upaya merumuskan angka forecasting terbaik tentunya harus benar-benar mengikuti prosedur yang diarahkan dalam beberapa literatur terpercaya atau dari para ahli di bidangnya.
Menyusun forecasting secara sembarangan bukannya menjadi solusi malah justru menjadi pemicu masalah baru. Bukan hanya aspek perencanaan yang kacau balau, lebih jauh lagi hal itu akan mengorbankan nasib manajemen persediaan bahan yang semestinya dikondisikan sedemikian rupa sehingga tetap terjaga pada level tertentu dengan tidak kekurangan ataupun berlebih.
Angka forecasting seringkali menjadi rujukan dari perencanaan produksi agregat atau keseluruhan (agregrate planning). Dengan demikian setiap angka yang dihasilan oleh forecasting merupakan rujukan untuk melangkah tentang berapa banyak material yang harus dibeli, berapa banyak Sumber Daya Manusia (SDM) yang harus disiapkan, berapa lama alokasi jam kerja yang diperlukan, dan lain-lainnya.
Ketika angka yang menjadi titik awalnya sudah salah maka semua kegiatan yang terhubung dengannya akan turut merasakan dampak dari hal itu. Dalam sebuah sistem terintegrasi seperti Material Requirement Planning (MRP), data forecasting akan memegang peranan sangat penting dalam menyiapkan segala sumber daya. Apabila salah perhitungan maka dampaknya akan sangat luar biasa.
Tapi, bagaimanapun juga risiko tetap harus diambil. Tanpa adanya forecasting maka pelaku bisnis akan "buta" dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi. Dan hal ini tentu lebih mengkhawatirkan lagi dampak yang ditimbulkan. Oleh karena itu, setiap data forecasting penting untuk dikroscek. Atau dengan kata lain perlu adanya upaya kombinasi antara pendekatan kuantitatif yang menggunakan perhitungan matematik, dengan pendekatan kualitatif yang mengedepankan pandangan para ahli.
Untuk memperoleh data dengan akurasi yang terbaik tentunya butuh upaya yang tidak ringan. Perlu effort lebih untuk mendapatkan alternatif terbaik dari segala kemungkinan yang ada.
Ada dasar pijakan untuk suatu proses pengadaan barang, yaitu order atau permintaan. Dalam jangka pendek mungkin angkanya lebih mudah didapat ketimbang harus memperkirakan angka taksiran untuk periode-periode mendatang.
Terkadang, pada suatu periode tertentu suatu jenis barang disampaikan memiliki potensi besar menjadi produk yang digandrungi. Sehingga angka forecasting pun diprospek naik tajam daripada periode-periode sebelumnya. Akan tetapi umumnya angka penjualan itu tidak d mengalami lonjakan pesat dalam seketika. Terkecuali memang ada momen tertentu yang menjadikannya demikian. Forecasting tidak bisa menyamaratakan setiap situasi dan kondisi adalah sama.
Kemunculan bahan ataupun barang yang berstatus stok mati (death stock) merupakan penjelasan bahwa adakalanya kita membeli sesuatu melebihi dari apa yang kita butuhkan. Hal ini bisa terjadi karena angka perhitungan akan permintaan yang terlalu besar dari kenyataan atau karena terjadi perubahan spesifikasi tertentu ditengah perjalanan.
Dengan demikian forecasting tidak melulu harus fokus dengan situasi eksternal saja, melainkan juga kondisi internal seperti pengembangan produk, projek reduksi biaya, dan lain sebagainya. Apabila tidak terjadi keselarasan dalam hal ini maka aspek manajemen persediaan akan berpotensi menjadi tumbal yang dikorbankan. Pada akhirnya kita hanya bisa melakukan upaya untuk bersih-atau atau menata ulang manajemen persediaan.
Lantas mengapa kita tidak berupaya untuk melakukan perbaikan terus-menerus terhadap aktivitas forecasting kita sehingga seiring waktu akurasinya menjadi semakin baik?
Salam hangat,
Ash
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H