Beberapa waktu lalu saya sempat memperhatikan sejenak unggahan ceramah seorang ustadz di kanal youtube yang membahas perihal "ancaman" LGBT bagi generasi muda khususnya anak-anak. Secara garis besar, beliau memaparkan bahwa saat ini LGBT sudah semakin terang-terangan memperkenalkan eksistensinya kepada publik. Bahkan yang bersimpati dengan kelompok ini pun sepertinya semakin bertambah. Masih ingat dengan kontroversi yang dilakukan oleh Unilever beberapa bulan lalu saat "mengecat" logo korporasinya dengan warna-warni khas LGBT?
Eksistensi kelompok ini memang sudah tidak malu-malu lagi menunjukkan diri. Hanya yang cukup disesalkan adalah mengapa simbolisasi warna yang mereka gunakan itu seakan terkesan mengajari anak-anak bahwa yang mereka lakukan patut untuk ditoleransi.
Kalau sekadar memiliki "rasa" yang bertolak belakang dengan jenis kelaminnya barangkali hal itu masih bisa dimahfum karena bisa jadi hal itu merupakan bawaan lahir yang tidak setiap orang menginginkannya. Namun, tatkala sampai mempraktikan tindakan yang tidak semestinya seperti pernikahan sesama jenis dan terlebih berhubungan seksual sesama jenis maka hal itulah yang seharusnya dihindari.
Praktik kaum sodom tidak semestinya berulang kembali dimasa kini. Meskipun dengan dalih hak asasi, tetaplah fitrah kita tidak mengizinkan agar praktik komunitas LGBT itu menjadi legal untuk dilakukan. Agama yang kita anut, khususnya Islam, tidak memperbolehkan praktik semacam ini. Hanya saja sepertinya mereka yang sepakat dan memaklumi tindakan dan perilaku kaum LGBT ini belakangan seperti ingin "mendidik" publik agar mengizinkan yang mereka lakukan.
Permainan anak-anak yang populer belakangan ini seperti "Pop It" tidak sedikit yang dikemas dengan tampilan warna ala "bendera" LGBT. Dengan warna-warni yang mencolok itulah sepertinya turut mempengaruhi minat para penggunanya sehingga mainan tersebut pun menjadi viral.
Entah apakah para anak-anak itu memahami "rahasia" dibalik warna dari mainan yang mereka gandrungi atau tidak. Akan tetapi, ketika suatu saat mereka tumbuh dewasa dan menyaksikan perilaku "ala" LGBT bisa jadi mereka memiliki kesan bahwa warna itu "dimiliki oleh sesuatu" pernah menjadi bagian menyenangkan di masa kanak-kanaknya. Apakah seperti itu image yang sebenarnya ingin dibangun kaum LGBT?
Apakah para pembuat mainan populer itu memang dengan sengaja mengemas warnanya demikian dengan maksud menyebarkan antusiasme terhadap LGBT? Adakah misi terselubung dari produsen mainan itu? Atau mungkinkah mereka sebenarnya tidak menyadari hal ini samasekali bahwa warna mainan "Pop It" itu memiliki makna "istimewa" bagi kelompok yang sebenarnya tidak diharapkan ada di Indonesia?
Kalau boleh dibilang, yang bermasalah sebenarnya bukan mainan Pop It-nya. Bukan juga simbolisasi warna yang melekat disana sebagai pangkal masalahnya. Karena "Pop It" yang populer itu memang mempergunakan warna pelangi yang sudah sejak dulu kala menjadi warna yang digandrungi anak-anak.
Barangkali komunitas LGBT ini memang "jeli" memanfaatkan sesuatu yang memungkinkan mereka untuk lekas diterima oleh publik. Mengklaim simbol populer sebagai milik mereka. Hal ini sekaligus menjadi pertanda bahwa upaya LGBT untuk memaklumkan publik terhadap eksistensi mereka sudah semakin canggih. Dan kita semestinya menjadi lebih "ngeh" terhadap situasi ini.
Bukan "Pop It" yang bermasalah. Bukan juga warna pelangi persoalannya. Karena semua itu hanya "korban" dari kaum LGBT yang memang ingin menyusup lebih jauh kedalam masyarakat dan mengupayakan agar tindakan mereka diterima. Jadi jangan sampai kita salah persepsi dengan situasi tersebut. Dan sebagai orang tua sudah selayaknya kita memberikan edukasi yang tepat mengenai hal ini.
Salam hangat,
Ash
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H