Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Parno Porno Bola Voli Pantai Wanita

4 Agustus 2021   16:14 Diperbarui: 4 Agustus 2021   16:48 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah cerita kembali hadir dari ajang Olimpiade Tokyo 2020. "Pelakunya" adalah cabang olah raga (cabor) voli pantai wanita. Ramai masalahnya adalah karena adanya pengaduan atau protes dari salah seorang pemirsa televisi yang ditujukan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang menganggap bahwa acara tersebut bermuatan tidak baik atau dinilai mengandung unsur pornografi.

Tidak salah memang. Meski tidak juga bisa dibilang sepenuhnya benar. Menilik "kondisi" dari cabor tersebut memang "begitulah adanya". Yang namanya olah raga voli pantai memang dikemas sedemikian rupa sehingga gaya berpakaiannya pun layaknya para turis yang berjemur menikmati matahari pantai.

Terkesan seronok. Berbusana terbuka. Apalagi ketika hal itu dilakukan oleh kaum hawa. Bisa jadi syahwat lelaki yang menontonnya bergejolak melihat lekuk tubuh yang terbuka begitu adanya. Anggapan terkait tayangan olah raga voli pantai bermuatan tidak baik yang diadukan oleh Ibu Siti Musabikha bisa jadi cukup beralasan. Namun olah raga voli pantai ini bukanlah jenis olah raga baru yang muncul belakangan ini. Keberadaannya sudah cukup lama dan menjadi salah satu langganan cabor di ajang olimpiade.

Lantas mengapa baru sekarang diperkarakan? Apakah tingkat kekhawatiran kita terhadap tontonan dunia maya sudah sedemikian mengkhawatirkan sampai-sampai ajang olahraga turut menjadi sasaran wejangan? Begitu parno-kah kita terhadap program acara yang disinyalir memuat unsur-unsur pornografi?

Beberapa waktu lalu saya sempat melihat sebuah meme yang mengejek sensor tayangan yang dilakukan oleh salah satu stasiun televisi yang menampilkan tayangan relief candi. Sensor tersebut ternyata dialamatkan pada salah satu relief patung di dinding candi dimana ada gambar seseorang yang bertelanjang dada. Padahal itu hanya patung. Apakah sebegitu tingginya libido penonton sampai-sampai patung pun terkena sensor?

Tayangan model apapun dimasa kini sepertinya rentan mendapatkan sasaran kritikan. Bagi pecinta karya hal itu dianggap menguransi esensi pesan yang ingin disampaikan. Sementara bagi pihak yang menyensor hal itu ditujukan untuk mengurangi tontonan bermuatan negatif seperti kekerasan dan juga pornografi.

Disatu sisi ada niatan baik yang terpampang disana. Sementara disisi lain sebenarnya ada "kelucuan" yang miris dari kondisi kita saat ini. Sudah bukan merupakan sesuatu yang langka tatkala pemberitaan tentang kejahatan seksual menggema di sudut layar pemberitaan media masa. Barangkali hal itulah yang menjadi pemicu tingkat paranoid kita mengenai potensi racun pornografi. Sampai-sampai hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan hal itu pun turut menjadi sasaran.

Aksi yang dilakukan Ibu Siti Musabikha mungkin membuat kening kita berkerut merasa aneh dengan tindakannya. Namun sebenarnya kita juga patut mawasdiri untuk melihat kerisauan yang dirasakan oleh beliau. Parno dengan hal-hal berbau porno sudah tidak lagi sebatas pada film-film berdandan seksi dan minim. Namun juga sudah merambah dunia olah raga yang sudah ada sejak lama.

Jika sudah seperti itu maka apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang? Pertama, matikan televisi dan jangan menonton tanyangan-tayangan yang dinilai berpotensi memicu syahwat. Kedua, berkaca diri apakah otak kita masih cukup kuat menahan godaan dari gambar-gambar "sensitif" atau justru gampang terangsang bahkan oleh patung telanjang saja.

Salam hangat,

Ash

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun