Segala jenis profesi pada umumnya memiliki risikonya masing-masing. Menjadi dokter berisiko tertular penyakit. Menjadi polisi berisiko dimusuhi oleh banyak orang. Menjadi kuli bangunan berisiko mengalami kecelakaan kerja. Menjadi guru berisiko dilaporkan ke polisi. Bahkan menjadi seorang planner pun ternyata juga memiliki risiko cukup besar.
Awalnya risiko tersebut saya kira sebatas dimarahi oleh atasan atau diomeli oleh rekan kerja yang menjalankan poin-poin perencanaan. Mungkin karena penyusunan planning yang tidak smooth sehingga menjadikan do menjadi tidak efektif serta kurang efisien.
Bagaimanapun juga aspek perencaan (plan)merupakan titik awal sebelum menjalankan tahapan selanjutnya ddidalam siklus PDCA (Plan, Do, Check, Action). Perencanaan yang buruk akan berimbas pada eksekusi yang kurang baik. Akibatnya menjadi lebih banyak poin yang perlu dievaluasi dan dikerjakan ulang.
Pada tataran manajerial, aktivitas mengulang pekerjaan (reprocess) merupakan salah satu keegiatan yang "diharamkan" karena hanya menyia-nyiakan sumber daya yang ada. Dan risiko ini harus dihadapi oleh seorang planner apabila sampai lalai dalam menjalankan perannya.
Sebenarnya bisa dibilang bahwa risiko tersebut tergolong lumrah untuk dihadapi. Konsekuensi yang didapat juga masih tergolong standar dan tidak terlalu susah-susah amat. Dimarahi bos, diomeli teman, ditegur rekan kerja, dan sejenisnya. Tidak terlihat ada kerugian meteriil seperti potong gaji atau membayar ganti rugi atas potensi kerugian yang ditimbulkan oleh sebab misplanning yang terjadi.
Tapi Tunggu..
Namun tunggu dulu. Potensi risiko yang dihadapi itu sebenarnya masih koma, bukan titik. Ada risiko lain yang bisa dibilang jauh lebih besar dari yang sudah ada. Kegagalan dalam membuat perencaan yang tepat akan berdampak pada kegagalan pada aspek lain yang berkaitan langsung dengan eksekusi. Situasi ini bisa memicu kerugian yang sangat besar bahkan mengalahkan kemungkinan dari loss yang terjadi selama proses eksekusi dilakukan.
Beberapa tahun lalu situasi tersebut pernah penulis alami. Dimana sebuah perencaan produksi yang ternyata mengalami missing link terlanjur dieksekusi oleh tim eksekutor. Penjadwalan produksi untuk mempersiapkan sekian ribu produk ternyata baru disadari mengalami kesalahan justru pada saat-saat datangnya deadline.
Armada jemputan sudah bersiap mengangkut barang. Tapi ternyata setelah dimuat terjadi ketidaksesuaian kapastias muat yang akhirnya memicu pertanyaan perihal mengapa hal tersebut sampai terjadi. Usut punya usut ternyata ada kesalahan pada kemasan produk yang memang tidak sesuai dengan standar. Padahal ribuan produk sudah terlanjur diproduksi, namun dengan kemasan yang secara keseluruhan salah.
Tak ayal situasi inipun memicu saling tuding dan lempar kesalahan antar masing-masing pihak. Dan selaku planner, penulis pun turut menjadi tertuduh atas terjadinya hal tidak diinginkan tersebut. Karena bagaimanapun juga disana ada peran dari planner yang bertugas untuk memfilter informasi dari beberapa divisi lain yang turut berkepentingan. Namun fungsi tersebut justru gagal dijalankan.
Akhirnya, kerugian ratusan juta pun terjadi. Dan entah harus bagaimana membayar ganti rugi jikalau hal itu sampai dibebankan oleh pihak perusahaan kepada planner. Bisa-bisa harus kerja seumur hidup dengan dipotong gaji tiada henti.
Untungnya, barang-barang salah produksi tersebut masih bisa sedikit diselamatkan dengan cara dijual diskon secara mandiri. Dimana semua pihak diminta bahu-membahu menjadi tenaga penjual dadakan yang bertugas untuk segera menghabiskan ratusan produk gagal tersebut. Dan setelah hampir satu tahun berselang produk bermsalah itupun berhasil dihabiskan.
Kejadian itu pun menjadi sebuah pelajaran berharga dalam perjalanan karier sebagai seorang production planner. Hal itu menyadarkan saya betapa besar risiko yang tersembunyi dibalik profesi yang sepertinya hanya duduk dibalik meja menatap layar komputer.Sepintas seperti memegang kendali video game, akan tetapi efek dampaknya adalah nyata. Jikalau bermain game bisa di restart ulang tatkala mengalami kesalahan, sebuah perencanaan produksi akan tetap menyisakan jejak masalah yang barangkali sampai mengharuskan kita untuk membayar ganti rugi dalam jumlah besar.
Â
Salam hangat,
Ash
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H