Terkadang situasi di tempat kerja terlihat jauh dari apa yang diinginkan oleh seorang bos atau atasan. Standar kondisi kerja yang ia inginkan bisa jadi hanya sebagian diantaranya yang terpenuhi sementara yang lain masih belum sesuai ekspektasi. Hal ini tidak jarang menjadi pemantik emosi si bos, mengganggu mood kerjanya, dan barangkali membuatnya ngambek kepada para anak buah yang dinilainya gagal dalam bertugas.
Keadaan dimana saat si bos mengalami situasi demikian mungkin merupakan salah satu situasi yang amat sangat ingin dihindari oleh semua anak buah. Karena seringkali ngambeknya seorang bos akan merembet kemana-mana. Masalah kecil bisa menjadi besar. Bahkan yang tidak bermasalah saja bisa menjadi masalah.
Sehingga situasi ketika seorang atasan sedang ngambek merupakan saat yang paling tidak tepat bagi anak buah untuk melakukan "perlawanan" atas segala sangkaan, tudingan, atau tuduhan perihal tidak tuntasnya tugas pekerjaan. Sangatlah wajar kiranya apabila setiap orang yang dinilai gagal bertugas untuk memberikan dalih argumentasinya.
Barangkali ada hambatan atau kendala sehingga membuatnya tidak bisa efektif serta efisien dalam bekerja atau karena hal ini. Hanya saja setiap alasan yang dikemukakan bisa saja mental begitu saja tatkala kondisi emosi si bos sedang "berantakan". Saat-saat ketika si bos sedang ngambek merupakan salah satu dari kondisi tersebut.
Dengan demikian cara terbaik adalah dengan merendah dan mendengarkan segala apa yang disampaikan oleh si bos mengenai segala unek-unek yang dirasakannya tersebut. Setiap penyataan yang terlontar dari mulut atau tulisan tangan bos yang sedang ngambek tidak bisa disangkal. Biarpun terdapat beberapa poin yang barangkali tidak sesuai. Karena saat kita berupaya untuk mengoreksinya maka hal itu hanya akan menjadi pemicu munculnya pernyataan lain yang barangkali tidak terkait sama sekali.
Ngambeknya si bos adalah menyangkut aspek emosi. Narasi argumentasi yang berangkat dari pandangan logis akan sangat mungkin dikesampingkan atau sekadar dipandang sebelah mata sampai argumentasi yang disampaikan memuat unsur emosi yang sefrekuensi dengan apa yang dirasakan oleh si bos.
Bagaimanapun juga aspek emosi ini tidak akan bisa dipisahkan dari segala aktivitas kita yang melibatkan hubungan dengan sesama manusia. Termasuk dalam dunia kerja. Termasuk hubungan antar sesama rekan kerja maupun dengan atasan.
Mungkin sudah cukup sering kita mendengarkan pernyataan dari beberapa bos atau atasan yang menginginkan anak buahnya berbicara dengan data. Namun hal itu bisa menjadi tidak berguna saat faktor emosi tiba-tiba mengambil alih dan menguasai pikiran seseorang. Terkadang hal itu tidak disadari secara langsung karena seakan-akan emosi itu membaur dengan rapi terhadap situasi yang ada. Menjadikan seseorang yang terpengaruh oleh emosinya seperti bersikap baik-baik saja.
Kemampuan kita dalam membaca situasi dan kondisi yang sedang terjadi pada emosi si bos inilah yang barangkali akan membedakan seberapa jauh eksistensinya terjaga di suatu jenis pekerjaan. Mereka yang mampu mengatur ritme dirinya sesuai dengan kondisi psikologis si bos akan lebih bertahan dibandingkan yang lain.
Salam hangat,
Ash
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H