Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Amplop Jenazah dan Niat Baik yang Salah Tafsir

14 Juni 2021   21:03 Diperbarui: 14 Juni 2021   21:05 2224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu itu ada seorang rekan yang sanak kerabatnya baru saja meninggal dunia. Sebagaimana layaknya memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum, maka prosesi seperti memandikan, mengkafani, hingga mensholatkan jenazah merupakan sesuatu yang rutin dilakukan sebagaimana ajaran agama dari almarhum.

Para pelayat pun berdatangan untuk mengutarakan rasa duka cita serta belasungkawa atas kepergian salah seorang warganya. 

Dan semuanya pun ramai-rami mendoakan hingga menyampaikan nasihat agar keluarga yang ditinggalkan mampu bersabar menghadapi cobaan ini.

Suasana kesedihan menggelayuti segenap kerabat dan saudara yang hadir kala itu. Tidak sedikit yang menganggap bahwa kepergian almarhum terlalu cepat mengingat usia beliau yang masih relatif muda. Tapi apadaya ajal sudah menjemput dan memang tidak bisa dimajukan ataupun dimundurkan barang sedetikpun.

Tapi, di tengah suasana yang penuh kesedihan semacam itu sang rekan tadi justru menyadari ada satu budaya yang entah bisa dibilang unik atau bisa disebut juga "aneh". 

Sudah menjadi rahasia umum di masyarakat sana bahwa ketika ada seorang yang meninggal dunia dan saat jenazah hendak disholatkan maka anggota keluarga dari almarhum harus menyiapkan amplop berisi sejumlah uang untuk diberikan kepada setiap orang yang turut mengikuti sholat jenazah.

Dalam keyakinan yang beredar di lingkungan tersebut, amplop itu merupakan perwujudan sedekah terakhir dari si almarhum sebelum menuju kehidupan berikutnya. Sehingga dengan demikian almarhum akan memiliki bekal tambahan di alamnya yang baru.

Hanya saja budaya atau tradisi semacam itu entah disadari atau tidak sebenarnya justru menimbulkan kegelisahan dan menjadi beban yang lain bagi keluarga yang ditinggalkan. 

Bagaimana tidak, saat mereka harus menanggung kesedihan atas kepergian anggota keluarganya justru ditambah lagi dengan beban pikiran untuk mengeluarkan sejumlah uang yang belum tentu mereka miliki.

Apalagi saat keluarga tersebut tergolong pas-pasan. Atau ketika wafatnya almarhum sebenarnya juga sudah menyedot uang dalam jumlah banyak. 

Sehingga pinjam uang kanan kiri atau menjual barang-barang berharga akan dilakukan demi agar almarhum tetap memperoleh penghormatan yang layak dari masyarakat sekitar. 

Padahal menghormati dan merawat jenazah sendiri hukumnya adalah fardhu kifayah. Bukan sebuah perhatian yang menuntut imbal balik bayaran.

Hal ini lambat laun justru menciptakan stigma bahwa mereka yang berasal dari keluarga tak berpunya cenderung diabaikan karena tidak cukup mampu memberikan amplop dengan isi yang layak kepada para jamaah. 

Sementara saat ada keluarga kaya yang meninggal dunia, masyarakat justru berbondong-bondong untuk mendapatkan isi amplop yang lebih banyak. Motif yang awalnya untuk ibadah telah bergeser menjadi motif ekonomi.

Mungkin lestarinya tradisi unik bin aneh tersebut turut ditunjang oleh kondisi ekonomi masyarakat sekitar yang  umumnya hidup ditengah-tengah keterbatasan. 

Sehingga saat ada salah seorang warga yang meninggal dunia hal itu pun justru menjadi ajang untuk memperoleh keuntungan. Naudzubillah. Sayangnya, para tokoh agama di wilayah setempat sepertinya tutup mata atau memaklumi tradisi ini. Meski sebenarnya tradisi itu tidak pernah dicontohkan dalam Islam.

Entah apa sebenarnya yang salah karena belakangan aktivitas yang seharusnya menjadi wujud kepedulian dan penghormatan kepada saudara seiman cenderung dibelokkan menjadi media untuk mendulang rupiah. 

Memang benar bahwa ada pengetahuan yang diperlukan perihal tata cara dan aturan yang harus diikuti. Sehingga ada skill yang terlibat disana. Tapi dalam konteks menghormati jenazah sepertinya tradisi amplopan terasa kurang relevan.

Tradisi memberikan amplop kepada jamaah mungkin awalnya dilandasi oleh niat baik dari anggota keluarga untuk berbagi dan bersedekah untuk almarhum. Hanya saja hal itu tidak semestinya dipukul rata dan diberlakukan sama untuk semua orang. 

Justru ketika dampaknya seiring waktu dirasa semakin mencederai esensi dari ibadah maka semua orang yang turut mengenal dan menjalani tradisi tersebut harus berani untuk berubah.

Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun