Suatu ketika seorang teman mengajukan permohonan cuti kerja kepada atasannya untuk durasi waktu yang cukup lama.Â
Alasannya sederhana, mau menghabiskan cuti karena jatahnya masih banyak sedangkan periode berlaku cuti sebentar lagi akan habis. Sehingga jika tidak segera diambil maka keburu hangus dan terbuang percuma.
Sebagian besar tempat kerja umumnya memang memberikan jatah cuti kepada para pekerjanya sejumlah waktu tertentu. Misalnya 12 hari kerja dalam setahun yang berlaku sedari sejak karyawan bersangkutan masuk kerja. Jika dalam kurun waktu satu tahun kemudian ternyata masih ada jatah cuti yang tersisa maka secara otomatis akan hangus.
Mungkin ada tempat kerja yang mengakumulasi jatah cuti periode terdahulu untuk periode selanjutnya. Mungkin ada juga yang mengganti sisa jatah cuti dengan nominal uang tertentu.Â
Karena bagaimanapun juga cuti merupakan hak dari setiap pekerja untuk me-refresh pikiran yang telah penat akan pekerjaan. Sehingga jikalau memang tersisa cukup banyak jatah cuti maka kemungkinannya hanya dua.
Pertama, karyawan bersangkutan memang workaholic yang tidak terlalu suka meninggalkan rutinitas pekerjaan. Baginya, bekerja merupakan bagian dari kesenangan yang mana saat meninggalkannya justru memicu rasa kehilangan.Â
Kedua, karyawan bersangkutan sulit mencari waktu untuk mengambil jatah cuti karena keberadaannya di tempat kerja yang sulit untuk digantikan.
Dalam kasus teman saya yang bermaksud hendak menghabiskan jatah cutinya tersebut mungkin lebih condong pada kondisi yang kedua. Yang bersangkutan sulit mengambil cuti mengingat keterbatasan personil yang memegang kendali pekerjaan.
Akibatnya jatah cuti yang seharusnya bisa diambil kapan saja menjadi diundur-undur hingga akhirnya mepet dengan deadline masa berlaku cuti tersebut.Â
Saat hal itu terjadi maka karyawan bersangkutan akan dihadapkan pada situasi dimana ia akan merasa sayang apabila membiarkan sebagian jatah cutinya hangus begitu saja atau tetap mengambil sisa jatah cuti dengan konsekuensi membebani orang lain karena meninggalkan pekerjaan dalam durasi waktu lebih lama.
Kebijakan Atasan
Menyikapi kondisi semacam ini seharusnya pihak perusahaan memberikan rule yang lebih jelas terkait bagaimana seharusnya jatah cuti itu diambil dan dimanfaatkan oleh pemiliknya.Â
Tidak sedikit dari pihak perusahaan yang membiarkan pekerjanya untuk memberdayakan jatah cuti dengan sebebas-bebasnya selama atasan dari pekerja bersangkutan menyetujui. Jadi, kalau ada pekerja yang mengajukan cuti dan hal itu disetujui maka tidak jadi soal.
Padahal, menumpuk pengambilan jatah cuti menjelang deadline masa berlaku cuti berisiko menciptakan kesulitan lain di pekerjaan. Saat si karyawan bersangkutan keberadaannya begitu diperlukan sementara hal cuti sudah akan habis masa berlakunya maka dilema lain akan muncul.Â
Mengizinkan cuti mungkin akan menyebabkan tertundanya penyelesaian pekerjaan. Sementara mencegah cuti bisa jadi merupakan bentuk pelanggaran atas hak yang dimiliki pekerja.
Sehingga sebaiknya jatah cuti itu secara rutin dimanfaatkan dan diambil tanpa perlu berentetan menjelang akhir masa berlaku. Mungkin setiap bulan diambil satu atau dua bulan sekali mengambil dua.Â
Tergantung situasi dan kondisi yang terjadi di masing-masing lingkungan kerja. Dengan demikian penumpukan sisa cuti menjelang akhir masa berlaku bisa diminimalkan.
Hal ini juga akan mengurangi potensi pekerja bersangkutan merasa tidak enak kepada rekan kerjanya yang lain karena mengambil jatah libur terlalu lama. Meski bagaimanapun menggunakan jatah cuti adalah hak setiap pekerja, akan tetapi "merepotkan" orang lain lebih lama dari seharusnya juga bukan tindakan yang tepat.
Seorang atasan hendaknya bisa membaca situasi ini karena hal itu bisa sangat berdampak terhadap kinerja tim yang dikelolanya. Memberikan keleluasaan mengambil jatah cuti namun dalam rentang yang sudah dikondisikan sebelumnya.Â
Seperti mengajukan cuti harus dua minggu sebelumnya atau lebih. Jangan mengajukan izin tidak masuk kerja dadakan terkecuali kondisi sakit karena hal itu pasti akan menjadi beban pekerjaan bagi orang lain untuk meng-cover pekerjaan kita.
Cuti kerja memang merupakan hak kita. Namun bukan berarti kita bisa memberdayakannya dengan semena-mena tanpa memperhatikan situasi dan kondisi sekitar.Â
Apabila kita tidak ingin merasakan efek negatif dari cuti berentetan yang dilakukan oleh rekan kerja kita di menjelang deadline masa berlaku cuti maka sebaiknya kita juga menghindari cara serupa.Â
Dan kita juga tidak akan berhadapan dengan situasi di mana mengambil jatah cuti layaknya sebuah tindakan pelanggaran yang memicu omongan orang lain.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H