Hubungan relasi kerja sebisa mungkin harus terjalin dengan baik bagi semua pihak yang terlibat di suatu jenis pekerjaan.Â
Diharapkan dengan adanya hubungan baik tersebut akan memudahkan koordinasi, komunikasi, serta sinergi untuk memastikan semua pekerjaan bisa mendapatkan hasil yang optimal.
Dengan demikian semua level jabatan di suatu organisasi hendaknya mendukung penuh setiap upaya yang dimaksudkan untuk membentuk jalinan keakraban di tempat kerja tersebut.
Namun ternyata ada saja beberapa pihak tertentu yang menganggap terjadinya jalinan akrab antar pekerja sebagai suatu "ancaman" yang perlu diwaspadai.Â
Kedekatan hubungan semacam itu justru disinyalir akan mengganggu profesionalitas kerja seseorang yang nantinya dikhawatirkan akan mengganggu pencapaian tujuan organisasi itu sendiri.
Sebagaimana pernah diceritakan oleh seorang teman yang mana dirinya mendapatkan larangan langsung dari atasannya untuk "bergaul" dengan rekan kerja dari pihak Outsourcing (OS).
Kebetulan teman saya tersebut mengemban fungsi sebagai staf HRD yang bertugas mewawancarai calon pegawai yang diusulkan oleh pihak OS.Â
Larangan bergaul dengan pengelola OS yang diberlakukan oleh sang atasan dimaksudkan untuk menghindari potensi "kongkalikong" diantara kedua belah pihak seperti meloloskan calon pegawai yang tidak sesuai kriteria atau kemungkinan "permainan" lain.
Tapi apakah upaya pencegahan tersebut sampai harus ditempuh dengan membangun tembok pembatas yang merintangi hubungan sebagai manusia selaku makhluk sosial?
"Hubungan baik antar pribadi tidak selayaknya menjadi penghalang atas pencapaian tujuan suatu pekerjaan, dengan catatan bahwa masing-masing pihak memahami batasannya masing-masing. Batasan inilah yang terkadang disamaratakan sehingga mengaburkan mana yang menjadi ranah pekerjaan dan mana yang menjadi ranah pribadi."
Bagaimanapun juga menjalani pekerjaan seharusnya dilakukan secara profesional. Kedekatan emosi terkadang menjadi alasan seseorang untuk mengeruk keuntungan dari partner kerjanya.
Sehingga sebisa mungkin setiap orang yang terlibat dalam suatu fungsi kerja harus bisa saling mawas diri. Memandang pekerjaan bukan semata-mata sebagai sesuatu hal yang harus dituntaskan meski harus melahirkan dilema bagi rekan kerjanya yang sekaligus teman dekat.
Hal inilah barangkali yang menjadi dasar berpikir seorang atasan untuk melarang anak buahnya bergaul dengan pihak lain yang memiliki kepentingan perihal pekerjaan yang berurusan dengan lini kerjanya. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa melarang kedekatan semacam itu bisa jadi juga terlalu berlebihan.
Idealnya adalah setiap orang dengan orang yang lain itu bisa berhubungan baik satu sama lain. Membaur dengan akrab selayaknya keluarga. Terlebih apabila mereka memiliki kesamaan visi pada suatu hal tertentu.
Orientasinya seharusnya pada kesuksesan visi bersama itu. Terlepas mungkin setiap pihak memiliki visi misinya masing-masing, tapi hubungan baik semestinya tidak menjadi alasan bahwa satu pihak akan mengganggu pencapaian visi misi pihak lainnya.
Dalam hal inilah sikap profesional itu perlu dikedepankan agar tidak terjadi pencampuradukan mana yang selayaknya berada dalam ranah koneksi pertemanan dan mana yang sepatutnya menjadi urusan pekerjaan.
Perlu adanya kebijaksanaan dari semua pihak yang terlibat agar semua mengerti batasan mereka masing-masing. Menyamaratakan semua urusan memang lebih mudah dilakukan tapi memiliki konsekuensi yang kurang baik terhadap koneksi yang terjalin antar pribadi yang terlibat.Â
Dan untuk memastikan sikap semacam ini tentu tidaklah gampang. Perlu kedewasaan, pembiasaan, dan niat baik untuk saling menjaga dan mengapresiasi kewenangan pekerjaan masing-masing.
Tapi bukan berarti sesuatu yang sulit dilakukan adalah mustahil dilakukan, bukan? Mungkin suasana kerja akan lebih menyenangkan apabila larangan semacam itu tidak sampai harus diberlakukan.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H