Asal Muasal Kebahagiaan
Studi menunjukkan bahwa kebahagiaan ditentukan 50 persennya oleh genetika seseorang, 10 persen dipengaruhi oleh keadaan yang dialami seseorang, dan 40 persen sisanya dikendalikan oleh pikiran, tindakan, serta perilaku seseorang.Â
Faktor genetika mungkin cukup sering kita jumpai ketika melihat beberapa orang di sekitar kita yang seperti gemar bercanda, murah senyum, humoris, dan sejenisnya. Bisa jadi orang-orang seperti ini memiliki genetika kebahagiaan yang lebih besar daripada orang kebanyakan.
Tapi untungnya kebahagiaan itu tidak sepenuhnya didominasi oleh genetika turunan yang mana dalam hal ini seseorang tidak memiliki kendali apapun untuk menetukan kualitas ataupun kuantitasnya.Â
Setidaknya ada faktor 40 persen yang bisa kita "otak-atik" sedemikian rupa sehingga kebahagiaan itu bisa berpihak kepada kita. Apabila hal ini bisa kita maksimalkan maka kesempatan kita untuk merengguk kebahagiaan dalam situasi dan kondisi apapun akan lebih mungkin terwujud.
Terkait hubungan kita selaku anak buah dengan atasan killer yang berpotensi menciptakan suasana kurang menyenangkan hal itupun sejatinya bisa "direkayasa". Pikiran, tindakan, dan perilaku kita memiliki kontribusi penting dalam hal ini.Â
Anthony Robbin dalam ulasan bukunya Awaken The Giant Within mengutarakan pentingnya memprogram ulang alam pikiran kita melalui tindakan yang kita lakukan.
Apabila tindakan kita merepresentasikan kebahagaiaan maka lambat laun hal itu akan turut menciptakan suasana yang lebih bahagia didalam diri seseorang.
Permasalahannya sekarang adalah bagaimana kita akan menciptakan suasana yang memungkinkan kita untuk berada dalam level kebahagiaan tinggi meskipun kondisi yang terjadi diluar lingkungan kita "memaksa" kita untuk menjauh dari kebahagiaan.Â
Prosentase 10 persen merupakan letak kontribusi dimana atasan killer akan membuat kita kehilangan kebahagiaan. Tapi apabila hal lain yang berpengaruh terhadap tingkat kebahagiaan kita kelola sedemikian rupa sehingga memiliki dampak dominan maka efek dari atasan killer akan menjadi tidak terlalu berpengaruh.
Seorang anak buah mungkin perlu untuk mengingat kembali bahwa seorang atasan setinggi apapun level jabatannya tetaplah sama manusianya dengan kita.Â