Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Ketika Seorang Bos Berkata, "Pokoknya..."

29 Maret 2021   08:04 Diperbarui: 30 Maret 2021   01:15 1926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bos| Sumber: Halomoney via Tribunnews.com

Sudah merupakan suatu kewajaran tatkala seorang bos atau atasan memerintahkan sebuah pekerjaan kepada bawahan atau anak buahnya. 

Dalam suatu organisasi bisnis khususnya hal itu merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya menggerakkan perputaran roda organisasi di setiap lini penopangnya. 

Pada dasarnya, sebagian orang memiliki mandat tertentu yang menjadikannya lebih berwenang dan lebih berkuasa ketimbang sebagian orang yang lain. 

Mereka ini berada pada pos-pos tertentu di mana hal itu memungkinkan mereka untuk membuat kebijakan strategis atau pengambilan keputusan mengenai situasi dan kondisi yang terjadi.

Dalam prosesi tersebut tentu diharapkan semua pihak dapat ikut terlibat dan saling membantu satu sama lain. Jikalau memang dalam implementasinya terdapat suatu kendala tentunya hal itu merupakan sesuatu yang lumrah, wajar, dan sah-sah saja terjadi. 

Begitupun ketika terjadi ketidaksepahaman maupun ketidaksepakatan pandangan maka merupakan bagian dari tugas seorang pemimpin untuk memberikan arahan penjelas agar hal itu bisa dipahami sepenuhnya dan seutuhnya oleh seluruh pihak terkait. 

Baik itu kepada mereka yang berada dalam lingkup kepemimpinannya ataupun kepada pihak lain yang terlibat dalam koordinasi suatu pekerjaan.

Ilustrasi gambar : subscriptionschool.com
Ilustrasi gambar : subscriptionschool.com
Perdebatan, adu argumentasi, dan saling sangkal pendapat juga merupakan dinamika yang acapkali melengkapi kehidupan suatu organisasi. Tidak terkecuali juga bagi organisasi bisnis. Sehingga keterampilan seseorang untuk berkomunikasi amat sangat diperlukan demi terciptanya kelancaran dalam menggapai tujuan. 

Sayangnya, tidak semua orang menguasai hal tersebut. Bahkan dalam diri sebagian orang yang mendapatkan mandat sebagai bos, atasan, ataupun pemimpin di sebuah organisasi sekalipun hal itu sangat mungkin terjadi.

Ketidakmampuan mereka untuk mengutarakan narasi secara tepat sehingga dapat dipahami dan diterima oleh orang lain pun akhirnya memicu "cara instan" untuk memastikan maksud dan tujuannya. 

Sebuah "maha argumen" yang sepertinya sampai saat ini masih belum ditemukan "penangkalnya". Sebuah perintah, instruksi, arahan, dan juga penjelasan yang didasarkan pada satu kata, "pokoknya". 

Ketika kata tersebut sudah meluncur maka itu menjadi pertanda atas beberapa hal. Pertama, "narator" kehabisan kata-kata penjelas untuk menopang maksudnya. Kedua, narator tidak ingin ada perdebatan, penyangkalan, atau alternatif lain dari tujuan yang hendak diraih.

"Mungkin kita mengenal kata 'pokoknya' sebagai bagian dari arogansi dan keengganan untuk menerapkan prinsip demokrasi dalam pekerjaan ataupun kehidupan berorganisasi. Namun adakalanya hal itu perlu untuk diterapkan tatkala ada sebuah visi besar yang benar-benar diyakini kebenarannya dan bahwa hal itu hanya perlu "power" untuk merealisasikannya."

Pertanda pertama bisa berarti bahwa seorang atasan, bos, atau pemimpin tidak memiliki cukup wawasan, latar belakang informasi, serta kedalaman pengetahuan atas suatu kondisi yang terjadi. 

Selain itu bisa saja ada maksud lain yang tidak diharapkan untuk diketahui oleh kebanyakan orang lain karena bersifat rahasia, sensitif, serta menyangkut aspek-aspek prinsipil kalangan tertentu sehingga hal itu dirasa tidak perlu untuk diketahui kalangan yang lebih luas. 

Kehabisan kata-kata untuk memberikan argumentasi penjelas bisa memantik keraguan perihal pelaksanaan suatu pekerjaan. Dan hal ini tentunya memengaruhi pencapaian hasil dari penuntasan pekerjaan tersebut.

Sementara pertanda kedua lebih kepada praktik "diktator", di mana semua pihak diharapkan untuk tunduk patuh atas perintah tanpa perlu mempertanyakan maksud maupun memperdebatkan ketidaksesuaian kondisi yang mengiringi. 

Para eksekutor diharapkan untuk "menutup mata" terhadap serangkaian hal yang membuat mereka ragu, khawatir, tidak percaya, atau bahkan takut untuk mengeksekusi. 

Kondisi ini disatu sisi mungkin akan menghindarkan terjadinya kemungkinan penyimpangan dari maksud utama yang diinginkan. Namun disisi lain hal itu bisa jadi menjadikan pekerjaan tidak tertunaikan secara sempurna mengingat para eksekutornya masih diliputi dengan beragam pertanyaan.

Idealnya adalah terjadi sinkronisasi antar pihak-pihak yang terlibat mulai dari perencana, pembuat kebijakan, eksekutor tindakan, hingga tim pendukung lain yang turut serta mengupayakan tujuan bisa tercapai dengan sebagaimana mestinya. 

Keselarasan yang terjadi didalam diri semua pihak akan menjadi energi pendorong yang luar biasa dalam memastikan keberhasilan suatu tujuan. 

Hanya saja memang untuk beberapa situasi dan kondisi tertentu utamanya yang dilandasi semangat perubahan dari seorang pioner, penggagas, dan juga inisiator maka prinsip "pokoknya" itu terkadang perlu untuk diterapkan agar mereka yang tidak percaya terhadap visi di masa depan menjadi terbuka matanya untuk melihat realitas yang berbeda daripada yang disangkakan.

Sehingga bersikap "pokoknya" pun harus berada pada jalur ruang dan waktu yang tepat. Tidak selamanya hal itu diabaikan dan tidak selamanya juga diimplementasikan. 

Dibutuhkan suatu kepekaan dalam melihat situasi, membaca peristiwa, menangkap dinamika, serta menganalisis fakta apakah dalam hal itu seorang bos, atasan, atau pemimpin perlu menunjukkan sikap yang kaku atau sebaliknya.

Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun