Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Saat Profesi Terasa Menyenangkan di Gaji tapi Menyebalkan di Hati

9 Maret 2021   11:30 Diperbarui: 9 Maret 2021   11:51 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada seorang penjual tempe yang sehari-hari mengais nafkah dengan cara menjajakan tempe ke rumah-rumah penduduk. Ia berkeliling setiap harinya dari satu tempat ke tempat yang lain mendatangi para pelanggan setianya. 

Melalui profesinya tersebut, sang bapak penjual tempe itu berhasil mengais keuntungan kurang lebih Rp 50 ribu setiap harinya. Kala itu angka tersebut bisa dibilang relatif cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, membayar biaya sekolah anak-anak, serta membeli beberapa keperluan lain keluarganya.

Suatu ketika, sang bapak penjual tempe yang terkenal sebagai pribadi jujur dan baik di daerahnya itu mendapatkan kesempatan untuk tampil sebagai kandidat anggota legislatif suatu partai politik. Mungkin karena adanya unsur kedekatan atau ada hal lain sehingga yang bersangkutan mendapatkan kepercayaan untuk menjadi wakil rakyat. 

Singkat kata, akhirnya nasib baik pun berpihak kepada beliau. Si bapak penjual tempe terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) suatu wilayah. Fasilitas, gaji, dan tunjangan sebagai anggota dewan jelas berbeda jauh dibandingkan penghasilannya sebagai seorang penjual tempe keliling. Seharusnya hal itu membuatnya merasa lebih baik khususnya dari sisi finansial. Tapi nyatanya justru hal sebaliknya yang ia rasakan.

"Kenyamanan hati punya cara kerjanya sendiri, yang barangkali berbeda satu sama lain untuk setiap orang. Pada sebagian kasus mungkin gaji memiliki implikasi yang baik terhadap suasana hati. Meski tidak jarang hal itupun bisa sangat tidak berarti."

Si anggota dewan ini merasa justru kebutuhannya semakin meningkat seiring dengan besaran gaji yang didapat. Makin besar penghasilan, makin besar pengeluaran. Yang dulunya dari penghasilan menjual tempe semua kebutuhan tercukupi, kini hal itu justru tidak dirasakannya lagi. Akibatnya, hatinya pun gundah gulana. 

Gelisah dengan profesi yang digelutinya saat ini. Hingga pada akhirnya si anggota dewan inipun memutuskan undur diri dari jabatannya. Ia memilih untuk kembali kepada profesi lamanya sebagai penjual tempe keliling. Baginya hal itu terasa lebih membuatnya nyaman dibandingkan berurusan dengan jabatan teras yang mapan.

Kenyamanan Kerja

Dalam beberapa kesempatan seorang teman berkeluh kesah perihal pekerjaannya. Ia kerapkali mendapatkan tekanan cukup besar dari sang atasan. Kata-kata "nge-gas" sudah menjadi santapan rutin sehari-hari dari seorang bos yang menuntut kesempurnaan dari pekerjaan anak buahnya. 

Dinamika seperti itu terus saja terjadi setiap waktu. Apalagi saat mendekati akhir bulan dimana umumnya organisasi bisnis tengah gencar-gencarnya memburu omset bulanan. Seakan itulah momen terpanas yang harus membuat setiap orang kuat hati mendapatkan tekanan dari sana-sini. Salah-salah kalau tidak sabar bisa saja seseorang memutuskan untuk undur diri.

Sejenak saya melontarkan selentingan bukankah itu sepadan dengan gaji yang ia peroleh? Dengan diplomatis iapun menimpali, "Iya sudah, dinikmati sajalah.". Mungkin teman saya tadi termasuk dari orang-orang yang mampu bertahan dengan profesinya. 

Meskipun mendapatkan tekanan bertubi-tubi hal itu tidak lantas membuat hatinya rapuh dan layu. Terkadang perasaan kesal mendapatkan tekanan dari sana-sini ia rasakan. Namun hal itu ternyata masih bisa dimaklumi oleh sebagian orang yang menganggap bahwa hal itu masih sepadan dengan gaji yang ia peroleh.

Pada titik mana besaran gaji masih dinilai sepadan dengan rasa sebal di dalam hati seseorang? Jawabannya mungkin relatif berbeda bagi setiap orang. Ada yang menerima gaji UMK namun kuat menahan "derita" harus dicaci-maki tatkala berbuat salah. Tapi ada juga yang menerima gaji sebesar kepala daerah namun langsung lunglai saat menerima cibiran yang dinilainya berlebihan. 

Apapun itu cukup sulit untuk menjadikan hal ini terlihat objektif. Karena bagaimanapun subjektivitas kondisi emosi seseoranglah yang berpengaruh besar terhadap hal ini. Kebanyakan akan lebih bergantung pada kondisi pribadi masing-masing yang mungkin disebabkan oleh kebutuhan, perasaan cukup, dan lain sebagainya.

Kenyamanan dalam pekerjaan mungkin menjadi prioritas hal yang ingin dirasakan seorang pelaku profesi. Meski tidak jarang hal itupun diabaikan demi suatu hal lain yang dinilai lebih penting. Kembali lagi pada orientasi pribadi masing-masing tentang apa yang ingin diperjuangkan dan mana yang ingin diabaikan dalam kehidupan seseorang.

Kompensasi Gaji dan Suasana Hati

Seberapa besar sih "takaran" yang tepat untuk mengompensasi gaji dengan rasa nyaman di hati? Terkadang kita mendengar pernyataan bahwa besaran tekanan itu sebanding dengan gaji yang diimbalkan. Seseorang dengan level pekerjaan tinggi umumnya mendapatkan tekanan lebih besar dari sang atasan yang lebih tinggi sehingga merekapun diganjar dengan imbalan yang sepadan. Selain tentunya kemampuan berstrategi, membuat gagasan, kreativitas, serta leadership juga turut berperan dalam membentuk nilai kompensasi tinggi seseorang.

Dengan kata lain, kredibilitas serta kapasitas seseorang akan berbanding lurus dengan nilai penghargaan yang disematkan kepadanya dalam wujud gaji tersebut. Namun aspek emosi tidak bisa dipungkiri menyimpan nilai apresiasi tersendiri yang terkadang untuk mengukurnya terkesan lebih sulit dilakukan.

Sulit untuk membandingkan perasaan sakit hati yang dialami seseorang karena dari satu sebab yang sama hal itu bisa diterima berbeda oleh beberapa orang yang lain. Adakalanya sebuah sindiran kecil saja bisa membuat hati tersayat dibandingkan kata-kata kasar penuh umpatan. 

Sayangnya, belum ada standar yang jelas perihal kondisi emosi ini dalam hal mencari nilai kompensasi materi. Sehingga tidak menutup kemungkinan konsekuensi emosi yang lebih besar justru mendapatkan kompensasi yang lebih sedikit dibandingkan konsekuensi kecil emosi yang mendapatkan imbalan besar.

Dalam kesempatan yang lain mungkin kita akan menggali lebih jauh perihal konversi aspek emosi ini untuk dirupakan dalam wujud kompensasi materi sehingga setiap orang yang menjalani profesi tidak semata-mata didasarkan pada beban tugas, tanggung jawab, risiko pekerjaan, atau beberapa hal teknis lain. Akan tetapi faktor emosi yang timbul karenanya mungkin juga perlu diberikan atensi lebih sehingga suatu profesi benar-benar dinilai secara utuh.

Terkadang kita dihadapkan pada pilihan untuk memilih salah satu diantara kenyamanan hati dengan besaran gaji. Mengapa tidak mencoba untuk memperoleh keduanya sekaligus? Terkesan serakah memang. Tapi bagaimanapun juga mendapatkan gaji tinggi semestinya juga langsung dibarengi oleh hati yang nyaman dan tentram. Disamping itu kita harus memahami bahwa kenyamanan hati tidak melulu tentang gaji, failitas, ataupun tunjangan. 

Buktinya adalah seorang penjual tempe yang menjadi anggota dewan pada awal tulisan ini. Ada hal penting lain yang mungkin lebih memberikan kepuasan dari sekadar besaran nominal rupiah. Terkait dengan hal ini sepertinya kita harus mencari tahu sendiri apa gerangan value yang menjadi sebab kenyamanan hati tersebut.

Salam hangat,

Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun