Dalam hubungan antara atasan dan bawahan atau bos dengan anak buah pada umumnya ia yang berada pada level lebih rendah mesti tunduk patuh pada yang lebih tinggi jabatannya.Â
Bagi mereka yang terikat dengan kesepakatan kontrak kerja tentunya hubungan semacam itu sudah diatur secara formal. Sehingga seorang anak buah mesti menjalankan instruksi atasannya berdasar pada Surat Ketetapan (SK) yang disepakati tersebut.Â
Sementara dalam interaksi atasan bawahan bagi pekerja informal situasi serupa juga terjadi hanya saja tidak tertuang langsung dalam kesepakatan hitam diatas putih. Sebatas kesepakatan lisan yang menyatakan seseorang bersedia bekerja bagi orang lain dengan imbalan tertentu.
Dalam hubungan semacam ini para atasan atau bos umumnya telah dimaklumi atas kewenangannya untuk memberikan teguran kepada anak buah atau bawahannya apabila dianggap melakukan tindakan yang tidak sesuai aturan.Â
Namun sejatinya hal itu belum menjadi penegasan bahwa seorang bos atau atasan berhak meluapkan amarah kepada bawahan atau anak buahnya yang dianggap bersalah.Â
Tidak ada kesepakatan langsung yang menyetujui bahwa seorang anak buah yang bersalah boleh dimarah-marahi, apalagi diberikan caci maki dengan segenap nama-nama hewan di kebun binatang ataupun yang senada dengan hal itu.
Bahasa yang sering dipakai dalam aturan perjanjian kerja adalah "menegur" yang mana implementasinya bisa jadi multitafsir. Sehingga jikalau "amarah" memang menjadi salah satu kewenangan yang berhak dilakukan oleh seorang pimpinan dalam rangka menunjang jabatannya maka bukankah sebaiknya hal itu dibuat agar lebih tersurat dalam kontrak kerjsama antara pekerja dengan pemberi kerja?
Terkadang terasa tidak adil juga saat misalnya ada seorang pekerja yang dinilai melakukan pelanggaran aturan pekerjaan lantas "didamprat" oleh sang atasan.Â
Dimarahi habis-habisan, atau bahkan mungkin dipermalukan harga dirinya dengan menjadi sasaran amarah didepan banyak orang. Tapi kemudian setelah itu pekerja bersangkutan justru diputus hubungan kerjanya alias PHK. Jika sudah seperti itu lalu apa gunanya ia menanggung malu atas luapan amarah yang diterimanya?Â
Seakan hal itu menjadi sesuatu yang tidak adil baginya. Karena luapan emosi marah yang diterima "anak buah yang bersalah" sebenarnya adalah bagian dari sanksi juga.Â
Ketika sudah ada sanksi berupa SP atau PHK maka sepertinya tidak perlu ditambahi juga dengan sanksi sasaran emosi marah. Kecuali memang apabila hal itu disepakati juga dalam perjanjian kerjasama kerja berwujud "kontrak marah".