Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Fenomena Congkel Chip e-KTP Karena Takut Dimata-matai, Teknologi Kita Belum Secanggih Itu, Kawan!

16 Februari 2021   13:05 Diperbarui: 16 Februari 2021   13:22 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proses perekaman data E-KTP | Sumber gambar : fajar.co.id

Baru-baru ini sekumpulan netizen ramai-ramai mengunggah video tindakan mereka mencongkel chip yang terdapat di E-KTP miliknya. Alasannya adalah terkait kekhawatiran dimata-matai melalui perangkat chip yang sejatinya hanya memiliki kapasitas 8 kilobyte tersebut. 

Padahal pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sendiri telah menyatakan bahwa chip E-KTP yang terletak pada layer ke-4 (dari total lapisan penyusun KTP elektronik) samasekali tidak atau belum memiliki kemampuan memata-matai semacam itu. Chip E-KTP masih sebatas berisi informasi data kependudukan saja. 

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menginformasikan bahwa data yang termuat didalam chip KTP elektronik itu berkisar pada biodata pemilik, foto, citra tanda tangan, serta dua sidik jari telunjuk kiri dan kanan dimana semua itu dimaksudkan untuk proses identifikasi ketunggalan identitas penduduk semata.

"E-KTP hanyalah salah satu potret dari pemanfaatan teknologi untuk mengintegrasikan data dari sebuah bangsa. Potensinya sangat besar untuk menerapkan 'big data' sebagai bagian penting melakukan tata kelola negara kita. Hanya saja memang kita sepertinya masih cukup jauh dengan tujuan besar itu. Disisi lain, tanpa bermaksud meremehkan, kualitas E-KTP kita masih belum mampu menerapkan teknologi pelacak sebagaimana dikhawatirkan warganet yang berujung pada aksi congkel chip E-KTP baru-baru ini."

Gambaran tentang E-KTP yang dimiliki sebagian masyarakat dengan anggapan ditanamkannya teknologi mata-mata ke dalam chip E-KTP mungkin dilandasi oleh mindset ala film-film Hollywood yang sering mereka tonton. 

Meski anggapan tersebut bisa saja menjadi kenyataan dengan catatan bahwa E-KTP warga negara Indonesia telah mengalami proses upgrading yang signifikan. 

Bagaimanapun juga dengan memori yang "hanya" 8 kilobyte itu potensi pendayagunaan E-KTP masih cukup terbatas seperti menyimpan data kependudukan seperti sekarang. 

Bila dibandingkan dengan beberapa negara lain yang telah lebih dulu menerapkan teknologi serupa bisa dibilang kita masih tertinggal. 

Di Malaysia misalnya, E-KTP mereka sudah mampu memuat Surat Izin Mengemudi (SIM), data kesehatan, informasi keuangan, dan masih banyak lagi. Chip E-KTP mereka sudah berkapasitas 64 kilobyte atau sekitar delapan kali lipatnya memori chip E-KTP kita.

Beberapa negara maju yang memiliki E-KTP canggih barangkali sudah akan berfikir tentang kemungkinan pendeteksian atau penanaman teknologi mata-mata kedalam chip E-KTP. 

Dengan kualitas teknologi yang sudah ada rasa-rasanya hal itu lebih relevan. Sementara kekhawatiran warga Indonesia dengan kualitas E-KTP seperti sekarang, ditambah pemanfaatannya masih belum optimal karena masih banyak yang menggunakan photo copy KTP ketimbang memakai card reader merupakan potret bahwa infrastruktur kita belum sepenuhnya siap menopang penggunakan E-KTP secara optimal. 

Dengan kata lain sebenarnya E-KTP kita tidaklah secanggih yang disangkakan sebagian orang dengan kekhawatiran bahwa dirinya menjadi objek mata-mata melalui chip yang tertanam di E-KTP tersebut. 

Sehingga melakukan aksi congkel chip E-KTP bisa dikatakan sebagai tindakan yang tidak berfaedah samasekali. Teknologi kita belum secanggih itu, kawan!

Kita masih butuh waktu panjang untuk menjadi bangsa dengan peradaban yang terbiasa dengan penggunaan teknologi semacam ini. 

Kemungkinannya adalah kita akan lebih dulu menyaksikan bangsa-bangsa lain menjadikan E-KTP warganya sebagai ajang unjuk kebolehan perihal sejauh mana teknologi di negara mereka berkembang. Lantas kita pun akan latah mengekor tanpa kesiapan yang berarti sebagaimana yang dulu-dulu terjadi.  

Salam hangat,

Agil S Habib

Refferensi: [1]; [2]; [3]; [4]; [5]; [6]; [7]; [8]; [9]; [10]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun