Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pasar Muamalah, Keinginan Kembali ke Sunnah atau Kegundahan Terhadap Rupiah?

4 Februari 2021   05:16 Diperbarui: 4 Februari 2021   05:25 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba pasar muamalah ramai diperbincangkan. Pendiri pasar tersebut, Zaim Saidi, dikabarkan telah ditangkap oleh Bareskrim Polri. Merebaknya kasus ini ditengarai bermula dari beredarnya video viral transaksi perdagangan yang mempergunakan koin dinar dan dirham di kawasan Depok beberapa waktu sebelumnya.

Padahal Zaim Saidi sendiri sudah cukup lama aktif mengampanyekan penggunaan dinar dan dirham dalam transaksi jual beli untuk menggantikan penggunaan uang kertas yang disinyalirnya penuh dengan "sihir" dan tipu daya. Rekam jejak Zaim Saidi sendiri dapat dengan mudah ditemukan di youtube dimana beliau seringkali menjadi narasumber pengisi kajian menyangkut ekonomi syariah. 

Melihat rekam jejak unggahan video ceramah yang bersangkutan sepertinya bisa dikatakan kalau pasar muamalah sudah beroperasi cukup lama. Hanya saja baru belakangan viral di media sosial sampai kemudian mendapatkan atensi dari pihak kepolisian. Terlepas bersalah tidaknya Zaim Saidi dalam hal ini yang menarik dilihat adalah tentang latar belakang dari gagasan yang membidani lahirnya pasar mualamah ini. Apakah hal itu semata diniatkan sebagai upaya kembali ke sunnah atau mungkin terdapat suatu kegundahan dibenak sebagian orang tentang kredibilitas dari uang rupiah?  

"Pasar muamalah hadir mungkin sebagai bentuk kerinduan sebagian orang atas praktik ekonomi yang murni. Juga sekaligus sebagai manifestasi kerisauan atas kondisi ekonomi bangsa khususnya yang tampak dalam status nilai tukar mata uang kita tercinta, rupiah."

Dalam beberapa kesempatan ceramahnya Zaim Saidi memaparkan beberapa hadist Nabi Muhammad SAW yang isiny mengatakan tentang peran penting dinar dan dirham pada akhir zaman. 

Dalam pemahaman beliau transaksi dengan dinar dan dirham merupakan bagian dari sunnah Rasullullah mengingat pada zaman Kanjeng Nabi dulu segala aktivitas perdagangan memang menjadikan dinar dan dirham sebagai alat tukar. Pemberlakuan denda terkait pelanggaran syariat juga acapkali menggunakan dua jenis alat tukar tersebut. 

Terlebih dinar (koin emas) dan dirham (koin perak) memang relatif stabil nilaianya dari tahun ke tahun sehingga sejak zaman dulu hingga sekarang eksistensinya masih terus terjaga. Bahkan kedua barang ini di era modern seperti sekarang sering dijadikan instrumen investasi yang menguntungkan dalam rangka menjaga nilai kekayaan yang dimiliki. Sebagaimana kita tahu emas khususnya hampir selalu mengalami kenaikan nilai dari waktu ke waktu sehingga bisa mereduksi kekhawatiran pemiliknya terhadap potensi inflasi.

Gerakan kembali ke sunnah memang beberapa tahun terkahir cukup populer di negara kita. Bahkan dalam beberapa kasus cenderung ekstrim yaitu tatkala seseorang yang memiliki pemahaman sempit mengatakan sedikit-sedikit bid'ah. Begini bid'ah, begitu bid'ah. Pokoknya yang berbeda dengan yang dilakukan Rasullullah itu bid'ah. 

Padahal pembahasannya seharusnya lebih mendalam dan kajiannya tidaklah sebatas membandingkan pemahaman dangkal dan narasi terbatas.  Perihal sunnah rasullullah sendiri ada cukup banyak, tapi terkadang sebagian orang justru menafikan yang seharusnya lebih dikedepankan.

Kekuatan Rupiah

Saat masih duduk di kelas 2 Sekolah Dasar sekitar tahun 1995 lalu saya masih ingat pernah membeli semangkok bakso dengan harga "cuma" Rp 200,-. Bahkan sebenarnya membeli Rp 100,- saja masih diperbolehkan. Tapi sekarang untuk mendapatkan seporsi bakso minimal harganya sudah sekitar Rp 5.000,-. Sementara kalau di kota-kota besar barangkali sudah mencapai Rp 15.000,- atau setidaknya sudah 75 kali lipat harganya dibandingkan masa-masa saya masih SD. 

Mengapa bisa seperti itu? Inflasi. Faktor inflasi telah menjadikan naiknya harga barang-barang atau sebaliknya nilai mata uang yang semakin melemah. Baksonya sama-sama satu mangkok, tapi harganya di tahun 1995 berbeda jauh dengan harga bakso di tahun 2021. Jika kita punya hutang ke seseorang pada tahun 1995 sebesar Rp 5.000,- maka apakah sepadan apabila kita mengembalikannya sekarang dengan nominal yang sama? Tentu tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun