Baru-baru ini cukup ramai diberitakan perihal adanya aturan wajib memakai jilbab kepada seluruh siswinya di salah satu sekolah negeri di kawasan Sumatera Barat. Peraturan tersebut memicu perdebatan karena diberlakukan kepada seluruh siswi baik berlatar belakang muslim maupun non muslim. Sehingga memicu kesan adanya pemaksaan kepada umat beragama selain Islam untuk turut serta mempraktikan aturan keyakinan beragama orang Islam.Â
Sebagian pihak menyebutkan bahwa hal ini merupakan potret lemahnya toleransi kita kepada umat beragama lain sementara konstitusi Indonesia sendiri menjunjung tinggi kebebasan beragama sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar (UUD) ataupun dalam Pancasila.
"Jilbab itu adalah tentang keyakinan. Memakai atau melepasnya tidaklah sekadar seperti mengenakan pakaian pada umumnya. Ada nilai keyakinan beragama yang tersirat didalamnya sehingga setiap orang harus lebih peka melihat hal itu sebagai bagian dari kebhinakaan kita menganut keyakinan masing-masing. Dimanapun dan kapanpun seharusnya semangat toleransi itu harus selalu diusung, bukan dipasung."Â
Setelah ditelisik lebih jauh ternyata peraturan yang mewajibkan semua siswi berjilbab itu sebenarnya sudah diberlakukan sejak lama. Sudah bertahun-tahun semua siswi SMK Negeri 2 Padang bertahan dengan aturan tersebut dan selama bertahun-tahun itu pula terlihat seakan kondisinya adem ayem saja. Entah karena minimnya sorotan publik atau karena semua orang yang terkait menganggap hal itu wajar-wajar saja.Â
Sampai kemudian ada salah satu wali murid berlatar non muslim merasa keberatan karena putrinya harus menjalanka kebijakan serupaya yang menurutnya adalah bagian dari keyakinan milik agama lain. Dan kemudian viral-lah pembahasan mengenai hal ini.
Melihat ramainya pemberitaan perihal siswi non muslim yang "dipaksa" berjilbab di salah satu sekolah negeri ini lantas membuat pikiran saya meneropong kembali ke beberapa tahun silam. Yaitu ketika istri saya tengah berusaha mencari-cari pekerjaan. Beberapa perusahaan ia coba kirimkan aplikasi lamaran kerjanya, dimana akhirnya sebagian memanggil istri saya untuk melakukan interview kerja dan sebagian yang lain mengabaikan.Â
Sebagaimana layaknya orang-orang yang mencari pekerjaan, istri saya pun dengan antusias mendatangi tempat-tempat demi tempat untuk menjalani prosesi rektutmen kerja dengan harapan bisa diterima di sana serta memperoleh gaji yang layak. Kantor demi kantor ia datangi, tes demi tes ia ikuti, dan wawancara demi wawancara ia jalani hingga akhirnya di salah satu perusahaan istri saya sampai pada tahap interview dengan jajaran manajemen perusahaan.Â
Mereka mengabarkan bahwa istri saya berpeluang besar mereka terima kerja dengan besaran gaji yang diminta. Pada titik itu istri saya merasa ada kebahagiaan yang memancar karena sebentar lagi penantiaanya untuk mendapatkan pekerjaan kembali akan segera terealisasi.Â
Namun apadaya hal itu kemudian sirna saat si pewawancara menyampaikan satu hal sebagai syarat, istri saya harus melepas jilbabnya apabila ingin diterima kerja disana.Â
Pihak perusahaan sebenarnya tidak langsung meminta jawaban dari istri saya saat itu juga. Mereka memberi waktu beberapa hari untuk berfikir dan menentukan sikap. Jikalau istri saya berkenan mereka mempersilahkan istri saya untuk menghubungi mereka kembali untuk menyatakan kesediaannya melapas jilbab.
Saat saya mendengar cerita tersebut dari istri saya sontak hati saya merasa panas. Sampai sebegitukah orang-orang yang bisa membayar gaji pekerja memperlakukan keyakinan beragama milik orang lain? Uang mereka seakan-akan bisa membeli keyakinan milik orang lain yang seharusnya mereka hormati. Dan ironisnya hal itu dilakukan dengan cara yang seakan terkesan memandang remeh.Â