Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Aturan Siswi Non-Muslim Pakai Jilbab Vs Karyawati Muslim Lepas Jilbab, What's Going On With Our Tolerance?

25 Januari 2021   07:39 Diperbarui: 25 Januari 2021   08:08 1378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seseorang mengenakan jilbab | Sumber gambar : www.bbc.com / Getty Images

Baru-baru ini cukup ramai diberitakan perihal adanya aturan wajib memakai jilbab kepada seluruh siswinya di salah satu sekolah negeri di kawasan Sumatera Barat. Peraturan tersebut memicu perdebatan karena diberlakukan kepada seluruh siswi baik berlatar belakang muslim maupun non muslim. Sehingga memicu kesan adanya pemaksaan kepada umat beragama selain Islam untuk turut serta mempraktikan aturan keyakinan beragama orang Islam. 

Sebagian pihak menyebutkan bahwa hal ini merupakan potret lemahnya toleransi kita kepada umat beragama lain sementara konstitusi Indonesia sendiri menjunjung tinggi kebebasan beragama sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar (UUD) ataupun dalam Pancasila.

"Jilbab itu adalah tentang keyakinan. Memakai atau melepasnya tidaklah sekadar seperti mengenakan pakaian pada umumnya. Ada nilai keyakinan beragama yang tersirat didalamnya sehingga setiap orang harus lebih peka melihat hal itu sebagai bagian dari kebhinakaan kita menganut keyakinan masing-masing. Dimanapun dan kapanpun seharusnya semangat toleransi itu harus selalu diusung, bukan dipasung." 

Setelah ditelisik lebih jauh ternyata peraturan yang mewajibkan semua siswi berjilbab itu sebenarnya sudah diberlakukan sejak lama. Sudah bertahun-tahun semua siswi SMK Negeri 2 Padang bertahan dengan aturan tersebut dan selama bertahun-tahun itu pula terlihat seakan kondisinya adem ayem saja. Entah karena minimnya sorotan publik atau karena semua orang yang terkait menganggap hal itu wajar-wajar saja. 

Sampai kemudian ada salah satu wali murid berlatar non muslim merasa keberatan karena putrinya harus menjalanka kebijakan serupaya yang menurutnya adalah bagian dari keyakinan milik agama lain. Dan kemudian viral-lah pembahasan mengenai hal ini.

Karyawati Muslim Lepas Jilbab

Melihat ramainya pemberitaan perihal siswi non muslim yang "dipaksa" berjilbab di salah satu sekolah negeri ini lantas membuat pikiran saya meneropong kembali ke beberapa tahun silam. Yaitu ketika istri saya tengah berusaha mencari-cari pekerjaan. Beberapa perusahaan ia coba kirimkan aplikasi lamaran kerjanya, dimana akhirnya sebagian memanggil istri saya untuk melakukan interview kerja dan sebagian yang lain mengabaikan. 

Sebagaimana layaknya orang-orang yang mencari pekerjaan, istri saya pun dengan antusias mendatangi tempat-tempat demi tempat untuk menjalani prosesi rektutmen kerja dengan harapan bisa diterima di sana serta memperoleh gaji yang layak. Kantor demi kantor ia datangi, tes demi tes ia ikuti, dan wawancara demi wawancara ia jalani hingga akhirnya di salah satu perusahaan istri saya sampai pada tahap interview dengan jajaran manajemen perusahaan. 

Mereka mengabarkan bahwa istri saya berpeluang besar mereka terima kerja dengan besaran gaji yang diminta. Pada titik itu istri saya merasa ada kebahagiaan yang memancar karena sebentar lagi penantiaanya untuk mendapatkan pekerjaan kembali akan segera terealisasi. 

Namun apadaya hal itu kemudian sirna saat si pewawancara menyampaikan satu hal sebagai syarat, istri saya harus melepas jilbabnya apabila ingin diterima kerja disana. 

Pihak perusahaan sebenarnya tidak langsung meminta jawaban dari istri saya saat itu juga. Mereka memberi waktu beberapa hari untuk berfikir dan menentukan sikap. Jikalau istri saya berkenan mereka mempersilahkan istri saya untuk menghubungi mereka kembali untuk menyatakan kesediaannya melapas jilbab.

Saat saya mendengar cerita tersebut dari istri saya sontak hati saya merasa panas. Sampai sebegitukah orang-orang yang bisa membayar gaji pekerja memperlakukan keyakinan beragama milik orang lain? Uang mereka seakan-akan bisa membeli keyakinan milik orang lain yang seharusnya mereka hormati. Dan ironisnya hal itu dilakukan dengan cara yang seakan terkesan memandang remeh. 

"Kalau mau kerja disini silahkan lepas jilbab Anda, tapi kalau tidak mau maka kami tinggal mencari lagi orang lain yang berkenan untuk itu." Saat itu istri saya yang tengah butuh sekali pekerjaan sempat goyah keyakinannya untuk tetap mengenakan jilbab. Hatinya risau dan galau dengan tawaran perusahaan yang menurutnya cukup menarik, khususnya dari sisi gaji. 

Namun saya kemudian mengatakan, "Dibayar 1 miliar pun hal itu tidak akan sepadan." Saya meminta istri saya melupakan tawaran dari perusahaan bersangkutan dan mencari lagi saja peluang kerja di tempat lain.

Sebuah ironi besar sebenarnya melihat kelakuan orang-orang yang seperti memandang rendah keyakinan beragama milik orang lain. Secara langsung mereka memang tidak terlihat memaksa. 

Akan tetapi perlakuan semacam itu menurut saya lebih cenderung mempermainkan keyakinan beragama orang lain dan mengusangkan prinsip-prinsip toleransi serta kesetaraan dalam merekrut calon tenaga kerja. Apalagi "syarat" melepas atau tidak mengenakan jilbab tidak disinggung samasekali dalam pengumuman lowongan pekerjaan. Sebatas membuka lowongan kerja bagi karyawati untuk posisi ini dan itu berikut beberapa persyaratan administratif lain yang masih sangat bisa dimaklumi.

Peraturan Cemen

Kalau memperbandingkan aturan mengenakan jilbab yang dibuat oleh SMKN 2 Padang dengan perusahaan yang mensyaratkan lepasnya jilbab tampak sekali satu perbedaan besar. Sekolah tadi dengan terang-terangan dari awal memberlakukan kebijakan tersebut dan seharusnya publik sudah mengetahui lebih dahulu aturan di sana. 

Jika memang tidak cocok di awal maka bisa memilih sekolah lain. Meskipun dalam konteks sekolah negeri perarutan semacam itu tidaklah tepat. Kecuali memang sekolahnya berbentuk Madrasah atau sekolah Islam maka peraturannya tidak akan memantik polemik seperti yang sekarang ini terjadi.

Sedangkan perusahaan-perusahaan kebanyakan tidak memberikan informasi di awal perihal adanya "syarat khusus" yang menyampaikan hal ini. Sangat jarang sekali tempat kerja yang meminta syarat calon karyawatinya tidak boleh seorang yang berhijab. 

Kalaupun ada yang mengatakan itu mungkin para pencari kerja sudah bisa bersikap lebih dulu di awal. Tidak perlu repot-repot datang untuk mengikuti prosesi rekrutmen kerja dari awal hingga akhir, sementara ujung-ujungnya diminta melepas jilbab sebagai syarat penerimaan. Si pencari kerja seperti dibohongi dalam hal ini. 

Mereka mencari pekerjaan bukan dengan niatan melepas keyakinan mengikuti ajaran agamanya. Tapi beberapa perusahaan dengan semena-mena dan tidak merasa ada yang salah dengan perlakuannya itu. 

Jikalau sedari awal memang tidak menginginkan karyawati berjilbab maka umumkan saja dengan lantang hal itu. Tidak perlulah bersembunyi dibalik layar dan bersikap seperti seorang penyandera yang menguji orang lain dengan imbalan agar seseorang melepaskan keyakinan beragama miliknya. Hanya aturan cemen yang berlaku seperti itu.

 

Salam hangat,

Agil S Habib

Refferensi:
[1]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun