Ada peran serta manusia disana seperti penggundulan hutan hingga perilaku yang membuat "hak-hak air" terabaikan. Penuntasannya tidaklah sekadar seruan "Jaga dan Lindungi Hutan Kita." saja, tetapi gagasan-gagasan ilmiah yang sekiranya bisa mencegah agar bencana itu tidak sampai terjadi juga perlu dilakukan. Begitu juga dengan bencana gempa yang terjadi di Sulawesi Barat. Bisa jadi suatu hari nanti akan ada teknologi yang bisa memprediksi secara akurat dimana dan kapan akan terjadi gempa.Â
Saat ini mungkin kita mengatakan bahwa hal itu mustahil, karena riset yang yang ada di negara kita sepertinya juga belum pernah fokus kesana. Mengatakan bahwa mustahi; untuk membuat teknologi yang bisa memprediksi, mengantisipasi, atau setidaknya menanggulangi efek bencana sama seperti ketika dulu kita mengatakan mustahil untuk berbicara dengan orang lintas benua. Tapi nyatanya apa? Internet memungkinkah hal itu.
Sepertinya kita harus mulai menggeser paradigma berpikir kita sehingga lebih ilmiah. Menyikapi bencana alam tidak hanya dari satu sudut pandang saja. Terlebih apabila hanya menganggap bahwa musibah itu adalah "kutukan". Selama kita memiliki akal dan nalar untuk berfikir dan menciptakan gagasan-gagagasan baru terkait teknologi penangkal bencana, maka seharusnya kita mampu melihat dengan lebih optimis bahwa senantiasa ada hikmah dibalik musibah. Keterbatasan yang timbul akan menjad stimulus lahirnya hal baru yang luar biasa. Dan dalam hal ini kita sudah melihat betapa manusia sangat luar biasa untuk melewati batasan-batasan yang oleh sebagian orang dianggap mustahil dilawan.
Pentingnya Riset dan Pengembangan Teknologi Anti Bencana
Alam akan selalu melakukan proses seleksinya. Mereka yang mampu beradapatasi akan bisa bertahan. Demikian juga sebaliknya. Kita mungkin sering membanggakan betapa kayanya Indonesia. Tapi kita lupa bahwa kita juga memiliki potensi lain berwujud bencana. Gempa, tsunami, gunung meletus, dan lain sebagainya.Â
Kita tinggal di sekeliling wilayah cincin api yang membuat kita akrab dengan bencana. Tapi sayangnya hal itu kurang mendapatkan porsi perhatian. Riset-riset ke arah sana masih terbilang kurang atau mungkin terabaikan. Teknologi pengantisipasi bencana justru lebih banyak menunggu pengembangan dari bangsa luar. Padahal kita seharusnya bisa membuatnya dalam versi yang lebih baik.
Pemerintah dari masa ke masa begitu getol menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai slogan. Mengebut pembangunan infrastruktur. Menjanjikan swasembada pangan. Tapi hampir tidak pernah terdengar ada yang menjanjikan perkembangan teknologi secara masif di berbagai lini. Kita masih hanya menjadi penikmat teknologi, bukan penggagas.Â
Ketika dulu (almarhum) Pak Habibie dengan luar biasa menciptakan pesawat terbang buat sendiri, tiba-tiba hal itu tenggelam tak tahu rimbanya. Sementara dalam hal teknologi lain kita sebatas menanti atau menunggu kebaikan hati bangsa lain mengirimkan hasil karyanya untuk kita. Mengapa kita tidak berusaha mengembangkan sendiri semua teknologi utamanya yang menyangkut aspek ilmiah pencegahan dan penanggulangan bencana? Jangan melulu berkutat pada persoalan birokrasi.
Riset-riset ilmiah seharusnya digalakkan. Gelontoran dana mungkin harus lebih digencarkan agar anak-anak bangsa sendiri bisa menemukan teknologi paling mutakhir untuk kesejahteraan bangsa ini. Kita harus lebih aktif untuk mengembangkan teknologi terapan yang mampu menunjang berbagai bidang. Lebih khusus yang menyangkut riset ilmiah mengenai teknologi penangkal bencana.Â
Sehingga bangsa ini menjadi lebih tahu apa yang harus diperbuat untuk meminimalkan jumlah korban bencana, menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa manusia, atau bahkan menjadi pusat rujukan bangsa-bangsa di dunia dalam mengembangkan teknologi anti bencana.
Salam hangat,