Tempat kerja itu umumnya identik dengan formalitas, aturan yang mengikat, serta kekakuan dalam menjalankan rutinitas kegiatan sehari-hari.Â
Setiap orang di tempat kerja umumnya terikat dengan job desc-nya masing-masing dan mesti melangkah sebagaimana prosedur yang telah digariskan sesuai dengan jenis pekerjaannya tersebut.Â
Demikian halnya dengan daftar pekerjaan yang mesti dikerjakan pun harus sebisa mungkin taat prosedur meskipun dalam situasi kondisi tertentu hal tersebut bisa saja dilakukan penyesuaian mengingat ada hal lain yang butuh untuk diprioritaskan.Â
Bagaimanapun juga setiap organisasi mendambakan kenormalan dalam operasionalnya. Semua bisa berjalan selaras dengan prosedur sementara tujuan utama harus juga tercapai.Â
Sayangnya, tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini. Termasuk halnya dengan pekerjaan yang meskipun di sana telah dikelola menggunakan standar operasi yang konon katanya sudah mempertimbangkan setiap aspek yang ada.Â
Sehingga sayogianya tidak akan ada penyimpangan-penyimpangan apapun yang harus dilakukan demi mengupayakan tujuan besar bersama.
 "Cincai atau dalam bahasan umum mencari titik temu pembahasan atas sesuatu hal yang dihadapi bersama-sama merupakan sebuah cara untuk bekerja dalam naungan organisasi dengan maskdu dan tujuan yang sama. Selayaknya organisasi hal itu tidak bisa berjalan sendiri. Butuh sinergi dari semua pihak agar turut mencari cara terbaik bagi semuanya. Bukan sebatas baik bagi salah satu pihak saja."
Realitas ternyata tidaklah selalu sama dengan prediksi diatas kertas. Sesempurna apapun wacana yang kita buat masih selalu ada kemungkinan terjadinya ketidaksinkronan, miskondisi, miskomunikasi, dan lain sebagainya sehingga berakibat terjadinya gap antara hasil yang tercapai dengan yang diharapkan.Â
Tidak sedikit muncul problematika baru sebagai akibat dari kondisi-kondisi tidak ideal itu yang membuat orang-orang yang terkait dengan pekerjaan tersebut menjadi ketiban tanggung jawab agar segera melakukan tindakan penanggulangan.
Sesuatu yang terjadi diluar harapan biasanya membutuhkan penanganan yang di luar jalur prosedur juga. Meski tidak menutup kemungkinan akan adanya juga prosedur darurat tersebut sebagai opsi pilihan.Â
Kalaupun ada, kemungkinannya adalah muncul konsekuensi berupa munculnya teguran atasan, omelan partner kerja, atau bahkan berujung pada jatuhnya "talak" kepada orang-orang yang disinyalir memicu terjadinya kondisi tidak biasa tersebut.Â
Seringkali sebuah persoalan besar semacam itu justru disebabkan oleh hal-hal kecil yang tak kunjung terselesaikan. Salah satu hal yang berpotensi menjadi penghambat penuntasan adalah sikap kaku-kakuan dari beberapa pihak yang terlibat.Â
Si A mungkin ingin dilakukan dengan "begini", sementara si B ingin dikerjakan dengan "begitu". Tapi si C berpandangan bahwa cara dari si A dan si B berpotensi menjadikan dirinya mengalami kesulitan sehingga ia ingin penuntasannya menggunakan cara "begono".Â
Tidak terjadi sinkronisasi antar beberapa pihak yang keukeuh dengan pendiriannya masing-masing. Akibatnya hal kecil yang cukup dituntaskan dengan level kebijakan pada tataran mereka tidak jarang harus berlanjut sampai kepada pimpinan yang lebih tinggi dalam memutuskan.
Padahal tidak semua keputusan harus pimpinan tertinggi yang mengambil alih. Untuk itulah ada delegasi kewenangan yang memungkinkan seseorang mengambil keputusan sendiri tanpa harus pamit kepada atasannya.Â
Sang atasan cukup tahu bahwa pekerjaan tersebut beres tanpa memicu timbulnya permasalahan lain. Sedangkan tim pelaksana lapangan haruslah memiliki keluwesan dalam melangkah khususnya mengenai hal-hal yang sifatnya tidak prinsipil.Â
Ada cukup banyak pekerjaan yang sejatinya lebih memerlukan pendekatan persuasi ketimbang instruksi. Misalnya terkait dengan fleksibilitas waktu guna melakukan pekerjaan tertentu.Â
Salah satu pihak bisa saja menetapkan aturan serah terima barang misalnya pada jam-jam pagi sebelum makan siang. Sementara pihak yang lain menganggap keberatan hal itu khususnya pada hari-hari tertentu karena adanya pekerjaan lain yang juga harus mereka selesaikan segera.Â
Opsinya adalah pihak pertama memberikan kelonggaran kepada pihak kedua sehingga serah diterima tetap bisa dilakukan pada waktu lain sebagaimana harapan pihak kedua, atau pihak kedua yang harus merelakan pekerjaan lainnya itu terhambat sebagai akibat kakunya sikap pihak pertama.Â
Kebuntuan-kebuntuan semacam ini sangat berpotensi terjadi pada jenis-jenis pekerjaan yang lain. Sesuatu yang tidak semestinya terjadi apabila semua pihak yang terlibat bisa "cincai" satu sama lain.
"Cincai" bukan Berbohong
Dalam kasus sehari-hari khususnya di tempat kerja istilah ini sering dipakai untuk menggambarkan adanya titik temu dalam negosiasi penuntasan sebuah pekerjaan.Â
Beberapa pihak yang terlibat menemukan titik temu untuk menyetujui dilakukannya suatu cara dalam menyelesaikan pekerjaan yang terkait dengan diri mereka masing-masing. Semakin mudah untuk cincai umumnya semakin banyak pekerjaan yang bisa dituntaskan.
Kalau boleh dikatakan sebuah prosedur pekerjaan memang dibuat untuk mengondisikan pekerjaan sehingga berjalan dengan sebagaimana mestinya. Tapi adakalanya pada saat-saat tertentu ada tuntutan pekerjaan dengan target yang luar biasa.Â
Kondisi ini tentunya tidak akan bisa diselesaikan menggunakan prosedur "normal" yang dipakai sebelum-sebelumnya. Pasti ada penyesuaian "birokrasi" entah itu dengan memotong prosedur yang ada atau mempercepat pelaksanaan prosedur ketimbang situasi biasa.Â
Namun permasalahan dari langkah semacam ini adalah butuhnya effort ekstra untuk meyakinkan orang lain yang terlibat bahwa mereka tidak akan terkena masalah di kemudian hari.Â
Sebagian orang yang diminta dukungan untuk membantu pengerjaan tugas ini biasanya memilih untuk cari aman dan kaku terhadap keadaan.Â
Sementara sebagian yang lain bisa saja berkenan membantu "dengan catatan". Upaya negosiasi pihak-pihak yang terlibat kiranya bisa menemui titik temu sehingga berujung pada pencapaian bersama ditengah-tengah kondisi yang tidak biasa.Â
Cincai pun bisa sangat berguna untuk menghindarkan semua pihak yang terlibat dari masalah hanya berdasarkan asas kesepahaman bahwa ada tujuan besar yang mesti lebih diutamakan ketimbang hal lain selama efek yang ditimbulkannya tidak seberapa.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H