Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jika Vaksinasi Itu Berat Untukmu, Biar Aku Saja

16 Januari 2021   12:24 Diperbarui: 17 Januari 2021   21:08 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tenaga Kesehatan (Nakes) yang seharusnya menjadi prioritas mendapatkan suntikan vaksin pertama ternyata masih banyak yang belum menjalani proses vaksinasi. 

Alasan terbesar yang mengemuka adalah mereka ragu dengan kredibilitas vaksin Sinovac meski sudah mendapatkan status halal dari MUI dan juga izin edar dari BPOM.

Selain itu sebagian yang lain belum yakin dengan keampuhan vaksin Sinovac setelah melihat efikasi hasil uji klinis yang hanya sekitar 63,5 persen. Sementara WHO sendiri sudah menyampaikan standar minimal "hanya" efikasi 50 persen. 

Dengan kata lain seharusnya tidak ada alasan menolak vaksin Sinovac menggunakan kedua dalih tersebut. Apalagi bukan hanya Presiden Jokowi orang berstatus pemimpin negara yang menerima vaksin itu. 

Erdogan sang presiden Turki pun juga mendapatkan suntikan serupa. Tapi entah kenapa sepertinya masih begitu gencar penolakan yang disuarakan terutama karena embel-embel China dibalik keberadaan vaksin Sinovac itu.

 "Mereka yang berkesampatan mendapatkan vaksinasi pada tahap awal hendaknya memberikan dukungan yang semestinya. Menyuarakan penolakan tidak akan memperbaiki keadaan sementara argumentasi atas penolakan itu hanya berdasarkan persangkaan semata."

Setidaknya pemerintah sudah berupaya untuk melakukan pengadaan vaksin dengan segera. Mereka bahkan sudah menjalin kerjasama dengan beberapa perusahaan farmasi penyedia vaksin jenis lain seperti Pfizer, Moderna, Astra Zeneca, hingga Gavi. 

Hanya saja layaknya urusan birokrasi dan negosiasi umumnya selalu alot. Padahal pandemi COVID-19 harus sesegera mungkin ditangkal. Dan sejauh ini vaksin disinyalir sebagai cara terampuh untuk melakukannya.

Terkait dengan jumlah vaksin pada tahap awal masih cukup terbatas maka mau tidak mau haruslah ada skala prioritas. 

Dan pemerintah pun sudah memutuskan pihak Nakes sebagai kalangan prioritas awal selain aparat keamanan. Tapi melihat realitas bahwa banyak Nakes yang menolak untuk divaksin hal ini mengesankan belum adanya kesatuan pemahaman dalam upaya memberantas pandemi.

Sebuah pertanyaan sederhana, masa sih pemerintah begitu kejamnya memilih sebagian warganya untuk "dikorbankan" dengan memberi mereka vaksin Sinovac? Sementara disisi lain pemerintah juga menjalin kesepakatan untuk mengadakan vaksin jenis lain? 

Pilih-pilih vaksin sementara semua jenis vaksin yang digandeng pemerintah sama-sama mendapatkan sertifikasi WHO. Mengapa kalau menolak tidak sekalian saja semuanya. 

Apakah memang terlalu berat bagi para Nakes ini khususnya untuk bergegas divaksinasi dan memproteksi dirinya sehingga bisa bekerja lebih terlindungi dalam merawat korban COVID-19 yang lain? 

Jika memang dirasa berat maka biar saya saja. Tapi sayangnya saya buka Nakes yang menjadi kelompok awal pilihan pemerintah.

Kalau hanya mau divaksin dengan vaksin jenis lain lantas kapan hal itu akan terjadi? Negeri sebelah, Malaysia, bahkan merasa iri dengan Indonesia yang mendapatkan kesempatan vaksinasi lebih awal. 

Tidakkah kita bisa sekali saja untuk mendukung program kerja pemerintah? Bolehlah kita sakit hati dengan Pak Jokowi mengenai banyak hal. Tapi sekali saja untuk urusan penuntasan pandemi marilah kita bersinergi. 

Tidak bisa dipungkiri (meski mungkin tidak akan diakui) bahwa ada beberapa kebijakan pemerintah yang menjadikan pendemi ini berlarut-larut. Tapi yang lalu biarlah berlalu. Saatnya sekarang untuk menyukseskan program vaksinasi.

Salam hangat,
Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun