Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Spiritual Company, antara Praktik Ritual dan Prinsip Moral

16 November 2020   11:26 Diperbarui: 16 November 2020   11:31 1261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : www.alodokter.com

"Spiritual Company bukan semata menampilkan kegiatan ritual sebagai bagian dari pekerjaan, melainkan dengan mempraktikkan secara nyata setiap nilai-nilai luhur spiritualitas dalam mengelola dan menjalankan korporasi itulah yang lebih penting. Spiritualitas company bukan sarana untuk mendikotomi perbedaan agama, sebaliknya justru menyatukan prinsip universal dari perbedaan keyakinan yang dianut masing-masing umat beragama."

Ada beberapa perusahaan yang melabeli dirinya sebagai spiritual company dimana nilai-nilai spiritualitas menjadi landasan utama korporasi tersebut dalam menjalankan operasionalnya. 

Hal-hal yang menyangkut aktivitas pekerjaan sedari sejak para karyawan masuk hingga pulang kerja senantiasa dibalut dengan tata cara spiritualitas sehingga diharapkan segenap elemen yang ada didalamnya benar-benar mengamalkan ajaran agama secara total. 

Jam kerja diberhentikan sementara apabila waktu sholat tiba, memberlakukan sholat berjamaah, seragam yang bernilai agamis, hingga sistem absensi menggunakan sholat dhuha khususnya bagi yang beragama Islam. 

Sebenarnya spiritual company tidak selalu harus menyajikan aktivitas ritual keagamaan sebagai bagian yang "meramaikan" periode waktu kerja, namun harus lebih mengarah pada implementasi nilai-nilai luhurnya terhadap pekerjaan. 

Spiritual company bukan berarti perusahaan bergerak dalam bidang keagamaan, namun lebih kepada mendasarkan pengelolaan sistem kerja bernafaskan prinsip-prinsip spiritualitas secara utuh dan menyeluruh.

Konteks spiritual memang lebih universal dan tidak terbatas pada satu jenis keyakinan saja. Akan tetapi tidak banyak yang secara terang-terangan menunjukkan pengadopsian konsep spiritual company itu di tempat kerja. 

Bahkan sebenarnya sah-sah saja pekerja dengan latar belakang keyakinan berbeda untuk bisa bekerja di perusahaan yang mengadopsi konsep ini. Sebagai contoh perusahaan berbasis spiritual company bernafaskan Islam dimana absensi dengan Sholat Dhuha dijalankan serta waktu sholat menjadi pembatas dihentikannya pekerjaan untuk sementara waktu, hal itu pun tetap memungkinkan umat keyakinan lain untuk juga bisa bergabung bekerja disana. 

Hanya saja memang kebijakannya terserah pada si empunya perusahaan terkait seperti kriteria pekerja yang diinginkan. Bisa yang seiman dengan dengannya atau siapa saja selama berkenan mengikuti sistem yang berlaku.

Jikalau seorang pemilik bisnis yang menerapkan spiritual company pada perusahaan miliknya lebih mengutamakan orang-orang yang seagama sebenarnya sah-sah saja. Demikian juga untuk memberikan ruang kepada pekerja berlatar agama berbeda-beda pun juga tidak menjadi masalah. 

Prinsip terpenting yang tidak boleh diabaikan adalah bagaimana caranya agar para karyawan yang bernaung dalam sebuah "wadah" korporasi berbasis spiritual company benar-benar menjadi "agen" yang menghayati pekerjaannya bukan semata sebagai media mengais rupiah saja, melainkan juga menjunjung tinggi nilai pengabdian yang tersimpan dibaliknya. 

Nilai-nilai spiritualitas memang hendaknya dijunjung tinggi dalam berbagai jenis korporasi apapun. Dalam beberapa tulisan terdahulu saya pun menyebutkan beberapa manfaat yang didapat oleh korporasi yang berkenan menerapkannya. 

Namun bagi perusahaan yang secara terang-terangan memproklamirkan dirinya sebagai spiritual company maka hal itu menjadi penegasan bahwa nilai-nilai luhur spiritual harus benar-benar menjadi landasan dalam setiap aktivitas kerja yang dilakukan disana.

Spiritual company memungkinkan hadirnya atmosfer kerja serasa kegiatan ibadah yang mana rasa pertanggungjawaban setiap pribadi tidak sebatas dialamatkan pada pimpinan tertinggi perusahaan, tetapi juga menyangkut tanggung jawab seseorang kepada Sang Pencipta. 

Mungkin idealnya spiritual company "murni" itu memang diisi oleh orang-orang dengan satu jenis keyakinan yang sama sehingga apabila memberlakukan beberapa praktik ritual seperti absensi menggunakan sholat dhuha, jam sholat jam istirahat, diskusi berbasis kajian, dan lain sebagainya menjadi lebih leluasa dijalankan tanpa risiko tudingan tidak menghargai keyakinan agama lain.

Sedangkan perusahaan-perusahaan yang "semi" menerapkan spiritual company hanya mengadopsi prinsip-prinsip spiritualnya saja. Dan sepertinya langkah ini yang lebih "aman" ditempuh karena menghindari dikotomi latar belakang kepercayaan serta keyakinan beragama para karyawannya. 

Bagaimanapun juga menerapkan prinsip-prinsip spiritualitas memang jauh lebih penting ketimbang "sok berlagak" sebagai spiritual company sementara dalam pelaksanaannya jauh panggang dari api. 

Spiritual company yang sesungguhnya adalah mereka yang melandasi pekerjaannya dengan nilai-nilai spiritual serta pandangan yang mengayomi semua orang yang berada dalam naungan korporasi tersebut.


Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun