"Spiritual Company bukan semata menampilkan kegiatan ritual sebagai bagian dari pekerjaan, melainkan dengan mempraktikkan secara nyata setiap nilai-nilai luhur spiritualitas dalam mengelola dan menjalankan korporasi itulah yang lebih penting. Spiritualitas company bukan sarana untuk mendikotomi perbedaan agama, sebaliknya justru menyatukan prinsip universal dari perbedaan keyakinan yang dianut masing-masing umat beragama."
Ada beberapa perusahaan yang melabeli dirinya sebagai spiritual company dimana nilai-nilai spiritualitas menjadi landasan utama korporasi tersebut dalam menjalankan operasionalnya.Â
Hal-hal yang menyangkut aktivitas pekerjaan sedari sejak para karyawan masuk hingga pulang kerja senantiasa dibalut dengan tata cara spiritualitas sehingga diharapkan segenap elemen yang ada didalamnya benar-benar mengamalkan ajaran agama secara total.Â
Jam kerja diberhentikan sementara apabila waktu sholat tiba, memberlakukan sholat berjamaah, seragam yang bernilai agamis, hingga sistem absensi menggunakan sholat dhuha khususnya bagi yang beragama Islam.Â
Sebenarnya spiritual company tidak selalu harus menyajikan aktivitas ritual keagamaan sebagai bagian yang "meramaikan" periode waktu kerja, namun harus lebih mengarah pada implementasi nilai-nilai luhurnya terhadap pekerjaan.Â
Spiritual company bukan berarti perusahaan bergerak dalam bidang keagamaan, namun lebih kepada mendasarkan pengelolaan sistem kerja bernafaskan prinsip-prinsip spiritualitas secara utuh dan menyeluruh.
Konteks spiritual memang lebih universal dan tidak terbatas pada satu jenis keyakinan saja. Akan tetapi tidak banyak yang secara terang-terangan menunjukkan pengadopsian konsep spiritual company itu di tempat kerja.Â
Bahkan sebenarnya sah-sah saja pekerja dengan latar belakang keyakinan berbeda untuk bisa bekerja di perusahaan yang mengadopsi konsep ini. Sebagai contoh perusahaan berbasis spiritual company bernafaskan Islam dimana absensi dengan Sholat Dhuha dijalankan serta waktu sholat menjadi pembatas dihentikannya pekerjaan untuk sementara waktu, hal itu pun tetap memungkinkan umat keyakinan lain untuk juga bisa bergabung bekerja disana.Â
Hanya saja memang kebijakannya terserah pada si empunya perusahaan terkait seperti kriteria pekerja yang diinginkan. Bisa yang seiman dengan dengannya atau siapa saja selama berkenan mengikuti sistem yang berlaku.
Jikalau seorang pemilik bisnis yang menerapkan spiritual company pada perusahaan miliknya lebih mengutamakan orang-orang yang seagama sebenarnya sah-sah saja. Demikian juga untuk memberikan ruang kepada pekerja berlatar agama berbeda-beda pun juga tidak menjadi masalah.Â
Prinsip terpenting yang tidak boleh diabaikan adalah bagaimana caranya agar para karyawan yang bernaung dalam sebuah "wadah" korporasi berbasis spiritual company benar-benar menjadi "agen" yang menghayati pekerjaannya bukan semata sebagai media mengais rupiah saja, melainkan juga menjunjung tinggi nilai pengabdian yang tersimpan dibaliknya.Â