Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Tatap Gaji Tinggi dengan Ambisi, Gaji Rendah dengan Syukur Alhamdulillah

9 November 2020   07:16 Diperbarui: 9 November 2020   07:22 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sesungguhnya jika kalian bersyukur maka akan ditambah nikmatmu. Sedangkan jika kita mengingkari maka sesungguhnya azab-Nya sangat pedih. Memperjuangkan ambisi itu tidak terlarang karena memang itulah jalan upaya kita merubah nasib. Akan tetapi ada hal yang tidak boleh kita abaikan dari apa yang sudah kita dapatkan selama ini. Dan hal itu hanya bisa dilakukan melalui rasa syukur kita." 

Layaknya sebuah kejutan yang datang bertubi-tubi pasca pengesahan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja, pernyataan bahwa UMP tidak akan mengalami kenaikan semakin mengacau-balaukan perasaan para pekerja. Sebuah pertanyaan penuh keraguan pun muncul di benak mereka, "Akankah gaji yang sama itu mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka beberapa waktu ke depan hingga periode gajian selanjutnya?". Narasi kekhawatiran sudah mulai disuarakan para pekerja sejak jauh-jauh hari. Jelas mereka khawatir bahwa situasi ini akan menjadikan hidup mereka lebih banyak masalah (baca : tantangan).

Setiap pekerja yang mengandalkan hidup dari gaji pasti berharap penghasilan andalan mereka itu terus meningkat dari waktu ke waktu. Setidaknya satu tahun sekali. Itu lebih baik ketimbang tidak mengalami kenaikan. Sehingga hampir setiap tahun senantiasa ramai aksi menyerukan pendapat untuk menuntut upah yang jauh lebih layak dari sebelumnya. 

Gaji tinggi merupakan impian setiap pekerja. Selama harapan itu tidak membabi buta maka ambisi akan gaji yang lebih tinggi merupakan sebuah sikap yang baik. Hal ini menandakan bahwa seseorang memiliki hasrat untuk mencapai sesuatu yang lebih baik di kemudian hari. Sesuatu yang bisa menjadi pemantik gairahnya untuk berusaha lebih baik dari sebelumnya, bekerja lebih baik, berdoa lebih banyak, dan lain sebagainya.

Sebaliknya, ambisi akan perolehan gaji yang lebih tinggi dari waktu ke waktu semestinya tidak boleh mengabaikan atau terlebih menihilkan penghasilan yang diperoleh saat ini. Beranggapan bahwa gaji yang didapatkan sejauh ini tidak mampu berbuat apa-apa untuk mencukupi kebutuhan hidup juga merupakan sikap yang kurang tepat. 

Selayaknya kita tetap bersyukur dengan apa yang sudah diperoleh saat ini. Memberikan penghargaan atas rezeki yang kita dapatkan sejauh ini. Bagi seorang pekerja berpenghasilan setingkat UMP barangkali harus lebih bersyukur ketimbang para tukang becak, kuli angkut di pasar, sebagian nelayan yang bertaruh nyawa di lautan demi sesuap nasi, pemulung, atau bahkan para serabutan yang tidak jelas berapa penghasilan hariannya. Boleh jadi seorang bekerja memiliki ambisi tinggi akan gaji. Akan tetapi disisi lain ia juga harus memasang perasaan untuk senantiasa bersyukur.

Ikhtiar untuk memperjuangkan kenaikan gaji munngkin tetap perlu dilakukan. Hanya saja rasa syukur yang kita miliki haruslah melebihi semua ambisi yang kita miliki. Karena perasaan inilah yang mampu menjaga diri kita untuk tetap bahagia, tenang, dan tentram dalam menyikapi segala sesuatu. Saat keputusan UMP dinyatakan tidak naik sedangkan beberapa provinsi mengeluarkan sikap yang menolak hal itu, maka mereka yang berada didalam "zona" tidak naik umumnya akan merasa iri dengan mereka yang berada di zona naik. 

Lumrah. Sebuah tatapan yang mengharapkan kita akan bernasib sama seperti mereka. Jengkel, iri, marah, mungkin merupakan beberapa emosi yang akan ditunjukkan untuk menyatakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan ini. Saat merasakan emosi semacam itu lantas bagaimana perasaan kita tatkala melihat sebagian rekan pekerja lain sudah terlebih dahulu kehilangan mata pencahariannya akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)? Tidakkah mereka jauh lebih iri terhadap kita yang masih berpenghasilan rutin?

Sah-sah saja berharap lebih terhadap gaji  yang kita miliki. Berjuang untuk memperolehnya adalah hal yang patut diapresiasi. Kepada para pekerja yang rela turun kejalan demi kakanikan gaji orang banyak perlu kita haturkan rasa terima kasih. Namun sekali lagi, jangan sampai semua itu melalaikan apa yang sudah kita peroleh saat ini. Karena yang seringkali muncul ke permukaan adalah keluhan demi keluhan yang menyatakan tidak cukupnya nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sedangkan mereka sebenarnya masih mampu membeli barang-barang diluar yang pokok. Berharap lebih itu boleh. Tapi bersyukur itu jauh lebih penting.


Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun