"Peran spiritualitas terhadap pekerjaan bukan sebatas memberi makna bahwa bekerja itu ibadah, namun juga mengilhami setiap gerak langkah para pekerja untuk memberikan sesuatu yang lebih dari dirinya."Â
Seseorang yang berprofesi sebagai karyawan menghabiskan sekitar sepertiga waktu hariannya untuk berada di tempat kerja. Durasi itu bisa jadi mengalahkan intensitas waktu yang dimiliki untuk bersama keluarga, melakukan relaksasi, atau bahkan waktu untuk mengembangkan diri.
Selain itu bukan tidak mungkin pengasahan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan seringkali terabaikan karena ketiadaan alokasi waktu untuk belajar agama, mendalami kajian spiritual, ataupun mengikuti pengajian-pengajiian ilmu yang sifatnya memperkaya khasanah pemahaman beragama seseorang.
Sebagai tempat yang paling banyak menyita waktu seseorang, tempat kerja sangat potensial menjadi media untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam arti yang lebih luas.Â
Bukan semata tentang kapasitas seseorang dalam melakukan fungsi teknis serta manajerial pekerjaan, melainkan juga menumbuhkembangkan nilai-nilai spiritual dalam diri pekerja itu sendiri.Â
Seseorang dengan landasan nilai-nilai spiritual yang mencukupi akan memiliki keunggulan dari sisi nonteknis. Utamanya dalam membentuk kepribadian yang penuh dedikasi.
Beberapa hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat powerful apabila menjadi landasan menjalankan bisnis, mengelola organisasi atau korporasi apapun, dan tentunya menjadikan pribadi setiap orang yang memilikinya lebih berkualitas.Â
Dengan kata lain seandainya pihak manajemen suatu perusahaan menerapkan hal ini kepada para pekerjanya maka hal itu akan melahirkan keuntungan besar di kemudian hari.
Spiritualitas tidak sebatas pada urusan hubungan personal manusia dengan Tuhannya, akan tetapi juga merupakan landasaan dalam membangun hubungan antar sesama manusia dengan lebih berkualitas.Â
Orang-orang yang menerapkan nilai-nilai spiritual dalam kehidupannya akan menjadikan dirinya lebih unggul dari yang lain. Paling tidak dalam konteks inner value yang dimilikinya. Kita pun akan memberikan penilaian lebih kepada mereka yang merepresentasikan nilai mulia spiritual dalam hidupnya.
Sebagai contoh, kita menyukai rekan kerja yang jujur dibandingkan yang suka berbohong. Kita pun menyenangi atasan yang adil kepada anak buahnya ketimbang atasan yang pilih kasih. Demikian juga kita lebih menyenangi anggota tim yang penuh energi untuk diajak bekerja sama.Â
Semua itu menandakan bahwa nilai-nilai spiritual sejatinya merupakan sesuatu yang sangat didambakan ada di sekeliling kita, utamanya untuk menunjang situasi kerja sehingga menjadi lebih kondusif dan produktif.
Atensi Spiritualitas
Sejauh ini proses pengembangan diri karyawan umumnya masih difokuskan pada keterampilan yang bersifat teknis dan manajerial. Berkaitan tentang teknik, teori, dan prinsip yang sifatnya umum. Menyentuh sisi hard skill dan juga soft skill sementara spiritual skill tidak dipedulikan.Â
Mindset dan bodyset merupakan pokok bahasan yang terus menerus diperhatikan sedangkan soulset cenderung diabaikan. Padahal kontribusi spiritual dinilai akan menjadi faktor utama capaian hebat di abad ke-21 ini. Hanya sayangnya kita belum memberikan atensi mendalam terhadapnya.
Training yang diadakan oleh korporasi bisnis semestinya memberikan ruang yang lebih untuk penanaman dan pengembangan nilai-nilai spiritual didalam diri para pekerjanya. Barangkali tantangannya akan jauh lebih besar ketimbang menanamkan aspek teknis dan emosi yang selama ini menjadi acuan dalam pengelolaan SDM perusahaan.
Nilai-nilai spiritual bukan sebatas materi yang disampaikan melalui presentasi power point, atau ucapan lisan para moderator. Nilai-nilai ini sejatinya sudah ter-include didalam hati semua orang dan hanya butuh dibangkitkan melalui pembiasaan sikap-sikap yang mengapresiasi implementasi nilai-nilai tersebut dalam keseharian.Â
Kita ambil contoh sikap jujur seseorang yang tidak lain merupakan implementasi nilai spiritual kejujuran. Nilai mulia ini perlu dibudidayakan melalui sikap apresiatif kepada mereka yang melakukannya.
Seorang karyawan adakalanya berlaku ceroboh dan membuat kesalahan dalam bekerja. Karena khawatir mendapatkan murka atau sanksi atasan akhirnya kesalahan tersebut ditutup-tutupi. Mereka lebih memilih sang atasan tahu dengan sendirinya ketimbang melalui penuturan lisan mereka sendiri. Mengapa? Karena kebanyakan mereka yang berani berkata jujur tidak mendapatkan apresiasi atas kejujurannya itu.
Dunia kerja cenderung mengapresiasi peningkatan performa atau prestasi kerja yang urusannya dengan sisi teknis. Output produksi meningkat, produktivitas tinggi, penjualan meroket, dan sejenisnya. Sedangkan ketika ada karyawan yang berkenan memungut sampah dianggap sebagai hal biasa. Padahal disanalah terasah nilai-nilai kepedulian.
Ketika ada seorang pekerja yang senang menghidupkan suasana hal itu dianggap tidak berarti apa-apa. Padahal disanalah terasah perasaan merdeka. Ketika ada pekerja yang gemar membantu rekan kerjanya sebtas dipandang baik tanpa anggapan lebih. Padahal disanalah nilai-nilai kepedulian dibentuk.Â
Nilai-nilai spiritual memang menjadi satu kesatuan dalam derap langkah seseorang. Hal itu terkadang terlihat menonjol dilakukan, tapi adakalanya hanya samar-samar. Tapi selama ini siapa yang peduli dengan semua hal itu?
Lantas bagaimana sebaiknya nilai-nilai spiritualitas ini ditanamkan pada diri para karyawan suatu perusahaan? Mengadakan kegiatan keagamaan mungkin baik, tapi belum menjamin bahwa nilai-nilai spiritual tadi akan terpatri dibenak para pelakunya. Hal ini perlu dipraktikan langsung dalam aktivitas rutin harian di mana di sana perlu mengadopsi prinsip-prinsip spiritualitas yang ada.
Cukup banyak perusahaan yang memiliki landasan prinsip moral seperti kejujuran, kepedulian, keadilan, dan sebagainya sementara dalam praktiknya upaya menanamkan hal-hal tersebut tidak kentara.Â
Sebatas menjadi penghias ucapan lisan para atasan atau bahkan pengisi pajangan di dinding perusahaan sedangkan kondisi di lapangan seperti tidak pernah menganggap bahwa hal itu ada.
Bagaimanapun tempat kerja memang berbeda dengan lembaga pendidikan, meski begitu hal itu bukan berarti tempat kerja terlarang sebagai tempat mendidik pribadi seseorang.Â
Berorientasi profit memang sudah menjadi fitrah organisasi bisnis itu sendiri. Namun selama didalamnya ada manusia-manusia yang terlibat maka akan jauh lebih baik ketika mereka itu turut dikembangkan untuk memiliki nilai mulia spiritualitas didalam dirinya.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H