Sebagai contoh, kita menyukai rekan kerja yang jujur dibandingkan yang suka berbohong. Kita pun menyenangi atasan yang adil kepada anak buahnya ketimbang atasan yang pilih kasih. Demikian juga kita lebih menyenangi anggota tim yang penuh energi untuk diajak bekerja sama.Â
Semua itu menandakan bahwa nilai-nilai spiritual sejatinya merupakan sesuatu yang sangat didambakan ada di sekeliling kita, utamanya untuk menunjang situasi kerja sehingga menjadi lebih kondusif dan produktif.
Atensi Spiritualitas
Sejauh ini proses pengembangan diri karyawan umumnya masih difokuskan pada keterampilan yang bersifat teknis dan manajerial. Berkaitan tentang teknik, teori, dan prinsip yang sifatnya umum. Menyentuh sisi hard skill dan juga soft skill sementara spiritual skill tidak dipedulikan.Â
Mindset dan bodyset merupakan pokok bahasan yang terus menerus diperhatikan sedangkan soulset cenderung diabaikan. Padahal kontribusi spiritual dinilai akan menjadi faktor utama capaian hebat di abad ke-21 ini. Hanya sayangnya kita belum memberikan atensi mendalam terhadapnya.
Training yang diadakan oleh korporasi bisnis semestinya memberikan ruang yang lebih untuk penanaman dan pengembangan nilai-nilai spiritual didalam diri para pekerjanya. Barangkali tantangannya akan jauh lebih besar ketimbang menanamkan aspek teknis dan emosi yang selama ini menjadi acuan dalam pengelolaan SDM perusahaan.
Nilai-nilai spiritual bukan sebatas materi yang disampaikan melalui presentasi power point, atau ucapan lisan para moderator. Nilai-nilai ini sejatinya sudah ter-include didalam hati semua orang dan hanya butuh dibangkitkan melalui pembiasaan sikap-sikap yang mengapresiasi implementasi nilai-nilai tersebut dalam keseharian.Â
Kita ambil contoh sikap jujur seseorang yang tidak lain merupakan implementasi nilai spiritual kejujuran. Nilai mulia ini perlu dibudidayakan melalui sikap apresiatif kepada mereka yang melakukannya.
Seorang karyawan adakalanya berlaku ceroboh dan membuat kesalahan dalam bekerja. Karena khawatir mendapatkan murka atau sanksi atasan akhirnya kesalahan tersebut ditutup-tutupi. Mereka lebih memilih sang atasan tahu dengan sendirinya ketimbang melalui penuturan lisan mereka sendiri. Mengapa? Karena kebanyakan mereka yang berani berkata jujur tidak mendapatkan apresiasi atas kejujurannya itu.
Dunia kerja cenderung mengapresiasi peningkatan performa atau prestasi kerja yang urusannya dengan sisi teknis. Output produksi meningkat, produktivitas tinggi, penjualan meroket, dan sejenisnya. Sedangkan ketika ada karyawan yang berkenan memungut sampah dianggap sebagai hal biasa. Padahal disanalah terasah nilai-nilai kepedulian.
Ketika ada seorang pekerja yang senang menghidupkan suasana hal itu dianggap tidak berarti apa-apa. Padahal disanalah terasah perasaan merdeka. Ketika ada pekerja yang gemar membantu rekan kerjanya sebtas dipandang baik tanpa anggapan lebih. Padahal disanalah nilai-nilai kepedulian dibentuk.Â