Tidak selayaknyalah kita berpangku tangan dan menanti kebaikan orang lain untuk "mengantarkan" rezeki kita. Perlu adanya sikap proaktif serta totalitas dalam bekerja sebagai salah satu upaya menjemput rezeki.
Boleh jadi kita berstatus pekerja kontrak dengan upah harian yang minim, namun itu bukan berarti mengizinkan kita untuk semena-mena dalam bekerja. Minimal standar penuntasan pekerjaan yang dibebankan pada kita harus terlaksana.
Sebuah totalitas yang diberikan dalam menjalani pekerjaan akan membuat hasil jerih payah terasa lebih nikmat. Bukan karena jumlahnya, tapi lebih kepada nilai perjuangan yang menjadi sebab hasil itu diperoleh.Â
Saat lelah menghinggapi, seteguk air putih biasa saja sudah bisa mengalahkan nikmatnya minuman bermerk. Mengapa? Inilah salah satu hikmah dari sebuah totalitas dalam mendedikasikan energi kita dalam pekerjaan.Â
Seorang buruh tani yang penghasilannya tidak seberapa bisa merasakan nikmat luar biasa kala menyantap hidangan nasi putih ditambah sambal atau ikan asin. Rasanya begitu nikmat dan sulit untuk digambarkan dengan kata-kata.Â
Jikalau mereka yang dilabeli pekerja kelas dua bisa menggapai kenikmatan dibalik rezeki "sederhana" yang mereka dapatkan, maka bukankah kita yang lebih beruntung dari sisi pekerjaan  sepatutnya bisa berbuat sama atau bahkan lebih dari mereka?
Sebenarnya hal ini menyangkut cara pandang kita terhadap pekerjaan yang kita jalani. Ada sebuah prinsip yang mesti kita junjung tinggi apapun profesi yang kita jalani saat ini.Â
Entah sebagai pekerja "kasar", karyawan kantoran, buruh tani, kuli panggul, ataupun yang lainnya. Prinsip itu adalah terkait pentingnya menjaga totalitas dalam bekerja. Inilah nilai penting yang menjadikan kita karyawan berkelas dhuha.Â
Jenis profesi boleh jadi kelas dua, tapi selama prinsip penting terkait totalitas ini senantiasa dijunjung tinggi maka kita patut berbangga dengan apa yang kita miliki.
Salam hangat,
Agil S Habib