Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengapa Muncul Keinginan "Resign" Tatkala Ada Rekan Kerja yang "Resign"?

23 Oktober 2020   07:01 Diperbarui: 23 Oktober 2020   07:12 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Terbawa suasana memang kadangkala terjadi pada seseorang untuk setiap situasi dan kondisi tertentu seperti halnya dengan kasus 'resign' rekan kerja ini. Namun sejatinya mereka memiliki pemikirannya sendiri atas pilihan yang dibuat. Begitupun seharusnya dengan diri kita yang juga perlu memiliki kemandirian dalam berfikir. Hidup kita ditentukan berdasarkan pilihan kita, bukan atas dasar mengikuti langkah orang lain."

Apakah mungkin ini hanya perasaan saya saja atau memang dirasakan juga oleh sebagian besar orang lain dengan profesi sama sebagai seorang karyawan apabila setiap kali ada rekan kerja yang resign maka muncul keinginan untuk segera mengikuti jejaknya? Serasa ada sesuatu yang aneh tatkala seorang teman tiba-tiba pergi meninggalkan kebersamaannya bersama kita. 

Terlapas dari apapun alasan yang melatarbelakangi keputusannya resign, tidak jarang timbul pertanyaan di benak kita terkait apakah sebaiknya kita bergegas mengikuti jejaknya atau tidak. Ada keraguan yang tiba-tiba melintas mempertanyakan eksistensi kita di tempat kerja saat ini. 

Mungkinkah keputusan untuk resign adalah sebuah hal yang benar untuk dilakukan olehnya sedangkan kita berada dalam situasi yang salah? Mungkinkah teman kita itu sudah mendapatkan kebebasannya sementara kita masih berkutik dengan sesuatu yang itu-itu saja?

Bukan merupakan hal yang aneh tatkala seseorang merasakan adanya kekurangan disana-sini dalam setiap pekerjaan yang dijalani. Bisa terkait masalah gaji, mungkin karena ketidakcocokan dengan beberapa orang, dan lain sebagainya. Bagi sebagaian orang kekurangan tersebut sudah cukup menjadi alasan untuk membuatnya mengakhiri pekerjaan di tempat lama dan mencari persinggahan yang baru. 

Kalau dibilang rumput tetangga selalu lebih hijau barangkali analogi tersebut cukup bisa menggambarkan suasana hati yang dialami para pekerja dalam memandang lingkungan kerjanya dan pekerjaan orang lain. Tinggal sekarang bagaimana seorang pekerja menempatkan sudut pandangnya dalam menilai suatu pekerjaan. Jika yang dilihat adalah selalu sisi lemahnya maka ia tidak akan pernah menemukan kesempurnaan dalam pekerjaan. Begitu juga sebaliknya.

Pada dasarnya yang dibutuhkan adalah visi dan pendirian didalam diri pribadi masing-masing. Apa sebenarnya yang kita cari dari suatu pekerjaan dan apa yang ingin kita kejar. Orientasi kita akan sangat menentukan cara kita dalam mengambil keputusan. Begitupun orientasi kita juga akan sangat berpengaruh terhadap suasana hati tatkala ada seorang rekan yang memutuskan untuk resign meninggalkan pekerjaan yang dilakukannya bersama kita selama beberapa waktu terakhir. 

Setiap orang butuh pendirian, dan dengan pendirian itu pula seharusnya suasana hati kita ditentukan. Mudah terbawa suasana bukanlah suatu hal yang tepat, apalagi kalau sampai kebablasan karenanya. Memang sah-sah saja merasa kehilangan seorang teman kerja yang memutuskan untuk resign dan meninggalkan kebersamaannya bersama kita. 

Akan tetapi jangan pernah kita melangkahkan kaki membuat keputusan berdasarkan rasa kehilangan itu. Rasional kita mesti tetap membumi dan memiliki kendali atas apa yang akan kita perbuat. Karena bagaimanapun juga setiap keputusan yang diambil dalam suasana emosi sedang tinggi-tingginya seringkali disesali pada akhirnya. Tentu kita tidak ingin hal itu terjadi pada diri kita.

Apapun yang saya rasakan dan orang lain rasakan tatkala seorang rekan kerja memutuskan resign dari pekerjaan yang selama ini kita jalani bersama-sama, hal itu hendaklah dipandang sebagai salah satu episode kehidupan. Dan masing-masing dari kita memiliki episodenya masing-masing. 

Kita semua memiliki kehidupan masing-masing serta visi yang berbeda satu sama lain. Langkah kita hendaknya diputuskan berdasarkan visi kita sendiri, bukan visi orang lain. Jangan sampai kelak saat ada sesuatu hal yang mengecewakan terjadi lantas kita mengalamatkannya kepada orang lain yang kita ikuti langkahnya itu.


Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun