"Berstatus pekerja kontrak tentu tidak diharapkan oleh hampir semua pekerja. Namun sistem yang diterapkan beberapa perusahaan terkadang membuat para karyawan yang bekerja di sana tidak bisa berbuat apa-apa. Stutusnya sebagai pekerja kontrak membuatnya lemah dan tak kuasa untuk memperjuangkan kondisi dirinya. Lantas apakah ini adalah bagian dari kesalahan aturan atau karena ketiadaan nurani dalam pekerjaan?"
Seorang teman berkisah tentang nasib rekan kerjanya yang cukup memilukan beberapa waktu lalu. Ia seorang perempuan muda yang belum lama menikah dengan suaminya.Â
Selang beberapa waktu berselang si perempuan ini hamil. Layaknya pekerja pada umumnya, ia pun masih masuk kerja seperti biasa sebagai petugas administrasi di tempat kerjanya.Â
Pekerjaannya cukup banyak, membuatnya begitu sibuk mengurusinya satu per satu. Namun ia beranggapan bahwa kondisinya masih baik-baik saja. Kandungannya tidak merasakan keluhan apapun.
Bahkan makan pun masih terasa nikmat, tidak terasa mual-mual apalagi muntah-muntah. Kalau istilah kata si perempuan ini hamilnya "hamil kebo", jadi terasa seperti biasa saja meskipun hamil dan tidak ribet dengan keluhan-keluhan ini itu.
Selang memasuki usia kandungan yang kedua bulan ia masih bisa bekerja seperti biasa. Sedikit nyeri mulai dirasakan olehnya. Khawatir terjadi sesuatu, ia pun memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter.Â
Hasil pemeriksaan awal menunjukkan kondisinya baik-baik saja. Tapi sepulang dari cek dokter itu karena merasa kondisinya baik-baik saja, ia pun mencoba untuk mengusir penat dengan mengunjungi rumah kerabat. Tidak langsung bersitirahat di rumah. Tanpa dinyana-nya ia mendapati sebuah noda darah pada dirinya.
Dan keesokan harinya kembali ia mengunjungi dokter dengan hasil pemeriksaan yang menyatakan kandungannya masih baik-baik saja.Â
Entah apa yang terjadi tatkala pulang dan beristirahat di rumah ia merasa ada yang tidak beres dengan kondisi kandungannya. Rasa nyerinya semakin menjadi-jadi.
Saat kembali ke rumah sakit sebuah informasi menyesakkan harus ia dengar. Sang dokter tiba-tiba mengatakan bahwa kandungannya tidak bisa diselamatkan. Ia mengalami keguguran.
Jatah Cuti Keguguran Karyawan Kontrak
Di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan Pasal 82 ayat 2 disebutkan, "Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan."Â
Dalam hal ini rekan kerja teman saya tadi yang mengalami musibah keguguran seharusnya berhak atas libur atau cuti kerja kurang lebih 1,5 bulan lamanya guna pemulihan kondisi kesehatan fisik dan mungkin juga psikisnya.Â
Bagaimanapun kehilangan seorang anak akibat keguguran tentunya sangat menyedihkan bagi seorang ibu atau calon ibu. Paling tidak dengan menenangkan diri dalam durasi waktu yang ditetapkan tersebut bisa membuatnya pulih kembali.
Namun yang terjadi di tempat kerjanya sungguh berbeda. Baru sekitar 2 minggu ia mengambil waktu untuk cuti kerja akibat keguguran, sang atasan sudah memintanya agar masuk kerja kembali. Menjalankan tugas-tugas pekerjaannya seperti sediakala.Â
Sebenarnya ia pun berharap agar masih bisa beristirahat dulu di rumah. Akan tetapi titah sang atasan sepertinya tak mampu ia tolak. Mungkin karena ia hanya berstatus pekerja kontrak sehingga tidak memiliki kuasa untuk menuntut hak atas dirinya selaku pekerja. Sebuah gertakan yang menyatakan kontrak kerjanya tidak akan diperpanjang saja sudah cukup untuk membuatnya tak berkutik. Sebuah bentakan agar berlaku sesuai perintah sudah membuat nyali mereka ciut. Bahkan tidak sedikit yang merelakan diri mereka dipalak demi agar bisa bekerja meski berstatus kontrak.Â
Entah memang seperti itulah nasih para pekerja kontrak sehingga begitu mudahnya mereka digertak, bahkan mungkin dibentak atau dipalak tanpa bisa melakukan pembelaan diri karena khawatir kehilangan pekerjaan yang dibutuhkannya.
Atau bisa jadi ketiadaan simpati dari sang atasan sudah keterlaluan sehingga memperlakukan pekerjanya dengan seenaknya tanpa merasa iba atau memikirkan sisi humanis seorang perempuan yang menderita nestapa kehilangan buah hatinya.
Mungkin inilah salah satu sebab mengapa kaum pekerja begitu gigih memperjuangkan penghapusan status pekerja kontrak yang hingga kini masih terus dipertahankan. Posisi para pekerja yang memiliki status ini terlihat begitu lemah dan tidak berdaya.Â
Barangkali akan lain ceritanya tatkala perlakuan dari pengusaha masih penuh simpati dan empati tanpa kesemena-menaan dalam memerintah para pekerjanya.
Memang tidak semuanya berlaku demikian, tapi sebuah potret yang terlihat dari kejadian rekan kerja teman saya tersebut hendaknya menjadi perhatian kita bersama bahwa masih ada pekerja kontrak yang kurang beruntung.
Salam hangat,
Agil S Habib
Refferensi:
[1]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H