"Apa yang terjadi dengan bangsa ini sekarang seperti menunjukkan suatu kemunduran atas kondisi bangsa yang telah diproklamirkan sejak 75 tahun lalu. Entah apa yang dirasakan para founding father apabila melihat kondisi ini. Mereka yang memahami ajaran Soekarno sebagai cara untuk mensejahterakan rakyat justru menunjukkan perilaku yang sebaliknya."Â
Pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) beberapa waktu lalu memicu banyak lahirnya drama politik. Aksi masa besar-besaran para buruh untuk melakukan demonstrasi penolakan telah berlangsung beberapa hari.
Demikian pula para mahasiswa juga ikut turun menyuarakan suara penolakan terhadap undang-undang yang dinilai merampas hak-hak para buruh tersebut.
Di samping hal itu, drama lainnya juga terjadi terkait dengan sikap resek pimpinan sidang sekaligus Ketua DPR RI Puan Maharani yang tertangkap kamera mematikan mikrofon perwakilan fraksi Partai Demokrat yang sedang mengutarakan pendapatnya di sidang Paripurna.Â
Tak ayal hal inipun mengundang sindiran pedas berbagai kalangan perihal perilaku tak elok sang pimpinan yang seharusnya mampu mewadahi seluruh aspirasi wakil rakyat. Tapi ternyata hal itu diabaikan. Justru kesan yang ditangkap adalah pebungkaman terhadap hak bersuara dan mengutarakan pendapat orang lain.
Meskipun dalih diutarakan terkait alasan mematikan mikrofon itu adalah karena politisi Partai Demokrat berbicara melebihi batas waktu 5 menit, kenyataannya hal itu diragukan.
Bahkan Irwan Fecho selaku "korban" di sini menyatakan bahwa dirinya baru berbicara sekitar 2 menit sebelum mikrofonnya tiba-tiba dimatikan. Apa yang dilakukan oleh Puan Maharani sangatlah disayangkan mengingat sebenarnya dalam hal ini Partai Demokrat juga tidak cukup kuat suaranya untuk menentang pengesahan RUU Cipta Kerja.
Dengan dukungan mayoritas partai politik di parlemen, Partai Demokrat hanya "berduet" dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saja yang menyuarakan penolakan. Sedangkan selebihnya bulat sepakat menyetujui Omnibus Law diketuk menjadi undang-undang.
Kondisi tersebut sebenarnya tidak akan merubah apapun jikalau Irwan Fecho dibiarkan untuk tetap bersuara dengan sebagaimana mestinya. Justru sikap DPR khususnya Puan Maharani tersebut semakin memperburuk citra wakil rakyat dimata publik. Bahkan belakangan muncul tagar "#mositidakpercaya" kepada para wakil rakyat yang dinilai tidak merepresentasikan kehendak rakyatnya.
Perbuatan Puan dengan keisengan tangannya itu sepertinya semakin menambah keraguan publik terhadap kualitas kepemimpinan sang cucu proklamator Indonesia, Bung Karno. Sang founding father mungkin akan sangat kecewa melihat sikap dari cucunya tersebut.
Apalagi jika ditilik ke belakang bahwa keluarga Soekarno menyimpan "dendam" atas perlakuan era order baru (orba) kepada sang proklamator pasca purna tugasnya sebagai presiden pertama Republik Indonesia. Soekarno seperti dibungkam dan terasing dari rakyatnya.