"Tahun 1998 kelompok UMKM disebut sebagai penyelamat ekonomi bangsa. Namun tahun 2020 ini bisa jadi kelompok elit konglomeratlah yang berperan untuk itu. Pada prinsipnya ujian besar terhadap ekonomi bangsa hanya bisa diatasi apabila kita semua saling bekerja sama. Rakyat-pemerintah, kaya-miskin, semua kalangan harus bersinergi. Mengedepankan prinsip berbagi demi kebaikan bangsa ini."
Dikabarkan bahwa pihak Kementerian Perindustrian (Kemenperin)akan memberikan relaksasi pajak hingga nol persen terhadap mobil baru. Apabila wacana tersebut benar-benar terealisasi maka harga mobil baru di pasaran akan menjadi lebih murah daripada sekarang.
Sebuah angin segar tentunya bagi mereka yang menginginkan adanya mobil baru di garasi rumahnya. Namun apakah kebijakan tersebut menjadi momentum yang tepat bagi semua orang yang belum memiliki mobil untuk segera memilikinya atau sebenarnya insentif keringanan pajak tersebut tidak memiliki dampak apa-apa?
Di tengah situasi pandemi yang dilengkapi dengan terjadinya resesi, situasi ekonomi terlihat tidak menjadi lebih baik. Bahkan tidak sedikit yang menempuh langkah-langkah pengetatan terhadap segala macam pemenuhan kebutuhan ataupun keinginannya masing-masing.
Lantas untuk apa pemerintah yang dalam hal ini Kemenperin mewacanakan kebijakan pajak mobil baru nol persen? Menurut dugaan saya hal itu dilakukan sebagai salah satu cara "memancing" minat orang-orang kaya berkantong tebal untuk sedikit membuka dompetnya atau mencairkan tabungannya untuk dibelanjakan sesuatu hal sehingga memacu roda ekonomi untuk kembali berputar. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa saat ini roda perekonomian negeri ini mengalami cukup banyak kendala untuk bisa berputar secara normal, tersendat-sendat, bahkan cenderung perputarannya memicu jalan mundur. Situasi tersebut tentu tidak baik dibiarkan terjadi berlama-lama.
Roda ekonomi harusnya berputar memicu kemajuan dan mensejahterakan semua pihak. Seiring aliran yang tersendat, entah karena ditahan oleh sebagian kalangan didalam negeri atau ditarik kembali oleh pemodal dari luar negeri, hal itu turut menyebabkan kondisi perekonomian secara menyeluruh memburuk. Khususnya di negeri ini. Terjadinya resesi ekonomi pun salah satunya disebabkan oleh hal ini. Untuk itu diperlukan sebuah strategi stimulus yang mampu membuat roda perekonomian kembali berputar secara normal. Membuat uang kembali beredar dan mengalir ke seluruh kalangan, tidak menumpuk dan tersimpan pada segelintir orang saja.
Dalam salah satu presentasinya, salah seorang pakar Modern Monetary Theory (MMT) yang sekaligus merupakan pebisnis besar tanah air, Mardigu "Bossman" Wowiek mengatakan bahwa dari 100% peredaran uang yang terjadi di Indonesia sekitar 70% diantaranya dikuasai oleh segelintir orang saja. Kurang lebih hanya sekitar 200-an orang saja yang berkuasa atas 70% peredaran uang tersebut. Hal ini juga selaras dengan prinsip pareto yang menyatakan bahwa efek mayoritas 80% sebenarnya ditentukan oleh 20% minoritas saja.
Demikian halnya dengan peredaran uang yang terjadi di negeri ini. Sepertinya pemain utamanya hanyalah orang yang "itu-itu" saja. Dan mereka bukanlah orang sembrono yang cenderung suka berspekulasi atau menempuh risiko tinggi ditengah situasi serba tidak pasti seperti masa pandemi sekarang ini. Mereka mungkin cenderung akan menempuh langkah aman dengan menunggu situasi benar-benar membaik beberapa waktu mendatang. Dengan kata lain mereka akan menahan uang yang dimilikinya untuk tetap berada di tempat. Tapi sayangnya hal itu berisiko membuat ekonomi menjadi macet sebagaimana yang terjadi saat ini.
Kebijakan Pemerintah dan Peran Para Konglomerat
Beberapa waktu lalu pemerintah menempuh kebijakan untuk memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat kelas menengah bergaji dibawah lima juta rupiah per bulan. Ditransfer langsung ke rekening pribadi masing-masing melalui BPJS Ketenagakerjaan. Sebelum dilakukannya kebijakan tersebut pun pemerintah sudah memberikan bantuan sosial kepada masyarakat sebagai upaya mengatasi efek pandemi yang menghentikan cukup banyak mata pencaharian masyarakat.
Dua kebijakan ini sebenarnya memiliki kesamaan visi yaitu untuk tetap menggerakkan ekonomi masyarakat dan mengupayakan agar aliran uang tetap terjadi. Sayangnya kebijakan tersebut hanya berpengaruh terhadap 30% saja pelaku peredaran uang didalam negeri sehingga efeknya tidak begitu terasa. Karena bagaimanapun untuk menciptakan efek yang lebih besar lagi tentunya harus ada kebijakan yang menyentuh komunitas yang lebih "besar" daripada itu. Si kelompok 70% itu harus turut andil dalam hal ini.