Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Vanuatu-RI, Menatap Cermin Kepribadian Bangsa

1 Oktober 2020   06:53 Diperbarui: 2 Oktober 2020   05:27 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Vanuatu - Wisatawan disambut oleh warga lokal Vanuatu. (sumber: vanuatu.travel via kompas.com)

"Kita butuh bercermin dan melihat tentang siapa kita sebenarnya dan siapa kita saat ini. Kita adalah bagian dari sebuah bangsa berbudi pekerti luhur yang tidak selayaknya mengumbar sikap negatif kepada saudara sebangsa apalagi kepada mereka yang dari bangsa lain."

Tiba-tiba sebuah negara kecil bernama Vanuatu belakangan ini ramai dibicarakan atau lebih tepatnya dipergunjingkan di dunia maya pasca kritik terhadap Papua yang dilontarkan oleh Perdana Menteri Vanuatu pada kesempatan Sidang Umum PBB beberapa waktu lalu. 

Kritikan tersebut lantas ditanggapi oleh diplomat muda Indonesia, Silvany Austin Pasaribu, dan kemudian seperti dipanjangkan urusannya oleh sebagian netizen yang jengah terhadap sikap Vanuatu yang dinilai mencampuri urusan negara lain tersebut. 

Namun yang cukup disayangkan adalah masih munculnya beberapa komentar bernada rasis yang dialamatkan kepada Vanuatu. Sikap semacam ini seperti merusak citra bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ramah dan santun di mata dunia internasional.

Komentar-komentar negatif yang dialamatkan kepada Vanuatu disatu sisi memang bisa "dimaklumi" mengingat disitu tersirat pesan sense of belonging dari seorang warga negara terhadap negaranya. 

Ketika ada sikap dari bangsa lain yang menjurus pada kesan mencampuri kedaulatan bangsa lain maka "naluri" tersebut seperti terbangun dan ingin melakukan pembelaan. 

Ada rasa tidak terima ketika bangsa kita dituding melakukan sesuatu yang tidak selayaknya oleh bangsa lain. Seandainya lontaran kritik terkait Papua itu dilontarkan oleh "orang dalam" negeri sendiri, barangkali responnya akan sangat berbeda. 

Insting untuk membela apapun tentang bangsa ini seperti begitu saja muncul. Tidak peduli apa yang disampaikan dalam kritikan tersebut benar atau salah.

Disisi lain terkadang rasa kebanggaan terhadap negeri sendiri menjadikan seseorang mengabaikan beberapa hal yang penting seperti tentang bagaimana kita seharusnya bersikap kepada orang lain. 

Entah itu sebagai pribadi maupun sebagai sebuah bangsa secara keseluruhan. "Ketegangan naratif" antara Indonesia dengan Vanuatu sepertinya menjadi kesempatan bagi kita semua untuk bercermin tentang diri kita ini sebenarnya.

Bahwa ternyata Indonesia yang dikenal kearifannya itu ternyata belakangan hal itu mulai memudar dan berubah menjadi penghujat kelas kakap. Bahkan hujatan-hujatan itu sudah menyebar luas dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. 

Apalagi ketika menyangkut suasana politik. Istilah-istilah yang tidak layak seperti kadrun, kampret, cebong, dan sejenisnya seperti merepresentasikan bahwa ada yang berubah dengan etika bangsa ini. Dan yang disayangkan Sepertinya kita tidak cukup menyadarinya.

Vanuatu menjadi sebuah cermin untuk melihat bahwa kita yang sekarang ini gampang panas, cepat tersulut emosi, dan kurang elegan dalam menanggapi situasi yang tidak sesuai dengan pandangan kita. Ketika ada kritik keras yang terlontar maka biasanya celaan demi celaan akan bermunculan. 

Sikap kita terhadap Vanuatu adalah cerminan kepribadian bangsa yang bermasalah | Sumber gambar : jpnn.com / Vanuatu Tourism
Sikap kita terhadap Vanuatu adalah cerminan kepribadian bangsa yang bermasalah | Sumber gambar : jpnn.com / Vanuatu Tourism
Seperti halnya sikap para buzzer bayaran yang entah darimana asalnya tiba-tiba melontarkan tuduhan yang sifatnya membunuh karakter seseorang tatkala ada kritikan pedas yang disampaikan. 

Saat ada kebijakan yang dinilai kurang tepat sekonyong-konyong muncul selentingan bahwa hal itu adalah bentuk ketidaksukaan terhadap pemerintah. Kita seperti berubah menjadi sebuah bangsa dengan kepribadian yang sensitif dan responsif. 

Hanya saja responsif yang ada bukanlah responsif yang produktif, justru sebaliknya. Tidak mengherankan apabila begitu banyak "adu laporan" kepada kepolisian apabila salah satu pihak menilai rivalnya tidak berbuat patut sehingga layak diperkarakan secara hukum. 

Bukan telinga kita saja yang cepat merah padam, tapi otak kita gampang mendidih, dan hati pun menjadi lebih mudah terbawa suasana simpang siur kabar yang sayogyanya butuh kajian lebih mendalam. 

Bangsa ini lebih cepat merespon sesuatu berdasarkan permukaannya saja, belum pada tataran intinya sehingga sikap yang dikeluarkan pun tidak memiliki bobot yang berkualitas.

Kita sudah cukup lama terjebak dalam situasi dimana saling "serang" antar pribadi menjadi kebiasaan. 

Ketika sikap ini meluas dan melintasi batas antar negara maka bisa dikatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan diri kita. Sebagai pribadi apalagi sebagai sebuah bangsa yang dikenal dengan adat ketimurannya. 

Sudah waktunya kita bercermin untuk melihat tentang apa yang sebenarnya terjadi pada diri kita masing-masing. Apakah perkembangan zaman telah membawa kita menuju perubahan sikap yang tidak semestinya itu? 

Padahal seharusnya kitalah yang memiliki kendali penuh atas sikap dan etika kita. Justru tantangan perubahan zaman harus mampu dikendalikan oleh budi pekerti yang tertanam pada lubuk sanubari terdalam yang dimiliki bangsa ini. Akankah kita menyadarinya?

Salam hangat,
Agil S Habib

Refferensi: [1]; [2]; [3]; [4]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun