Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Sanksi Teguran Tertulis Kurang Greget untuk Pelanggaran Kode Etik Selevel Ketua KPK

25 September 2020   16:30 Diperbarui: 25 September 2020   16:42 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri baru-baru ini dijatuhi sanksi berupakan teguran tertulis II oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK seiring pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh yang bersangkutan beberapa waktu lalu. 

Sang pimpinan KPK diketahui mengendarai helikopter saat melakukan kunjungan kerja ke Sumatera Selatan. Sesuatu yang dianggap berlebihan dan bergaya hidup mewah untuk seorang penegak tindak korupsi di negeri ini. Pamor KPK terangkat bukan karena pengungkapan kasus korupsi, melainkan karena aksi salah satu pimpinannya yang berlau diluar batas etika.

Melihat sanksi yang dijatuhkan yaitu berupa surat teguran kok rasa-rasanya hal itu kurang tepat atau kurang "greget" untuk diberikan dan memberikan efek jera kepada yang bersangkutan. 

Bagaimanapun juga masalah etika itu sesuatu yang sangat penting untuk kalangan penegak hukum seperti Bapak Firli Bahuri dan para pimpinan KPK yang lain. 

Ketika hal itu dilanggar maka integritas yang bersangkutan akan kembali dipertanyakan. Benarkah orang tersebut layak memimpin institusi penegakan hukum pemberantasan korupsi itu?

Barangkali hukuman untuk sebuah pelanggaran kode etik pejabat selevel pimpinan KPK mesti lebih galak. Potong gaji mungkin. Atau diajukan status kepemimpinannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar supaya digantikan oleh pimpinan yang lain. 

Jangan memandang remeh etika apalagi menyangkut etika seorang pemimpin. Ketika korupsi menjadi musuh nomor satu di republik ini maka orang-orang yang berperan untuk memeranginya haruslah benar-benar orang yang keras, galak, tegas terhadap korupsi. Sekecil apapun tindakan korupsi itu. 

Kalau boleh dibilang sebuah pelanggaran kode etik oleh pejabat tinggi KPK tidak lain adalah bagian dari korupsi juga. Hal itu adalah sebuah tindakan yang "memprovokasi" orang lain untuk mengikuti jejak serupa. 

Apalagi tindak pidana korupsi bukanlah perbuatan yang umumnya dilandasi oleh keterdesakan kondisi ekonomi, melainkan oleh kerakusan dan keserakahan. Kerakusan dan keserakahan ini identik dengan budaya bermewah-mewah termasuk di antaranya pamer kendaraan, dandanan, dan sejenisnya. 

Lantas ketika seorang pemimpin KPK berlaku mirip dengan hal itu bukankah akan menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi?

Dewas KPK sudah menvonis Firli Bahuri bersalah. Tapi sepertinya vonis itu harusnya bisa sedikit lebih berat lagi agar tidak terjadi pengulangan atas tindakan serupa. 

Melihat kondisi KPK yang terlihat letih, lesu, lunglai, dan lemah ini maka sang pemimpin harus menjadi motor penggerak yang bisa menggairahkan langkah para penegak hukum. Dan untuk menjadi sosok yang bisa melakukan hal itu etika yang lebih bermartabat adalah sesuatu yang mutlak dimiliki.

Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun