Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sanksi Protokol Kesehatan Bukan Solusi Tangkal Pandemi, tapi...

7 September 2020   11:19 Diperbarui: 7 September 2020   11:18 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pandemi COVID-19 | Sumber gambar : www.ayojakarta.com / Shutterstock

Sanksi membayar denda, menjadi sukarelawan pemakaman jenazah COVID-19, berdoa di kuburan pada tengah malam, teguran lisan, hingga berbaring didalam peti mati merupakan beberapa jenis hukuman yang coba diberlakukan kepada para pelanggar protoko kesehatan dalam rangka menangkal pandemi COVID-19 di Indonesia. 

Meskipun beberapa jenis hukuman tersebut sudah diberlakukan ternyata hal itu tidak serta merta berhasil membendung laju penularan virus corona COVID-19 di masyarakat. Apakah ini menjadi pertanda bahwa tidak ada hukuman yang efektif untuk meningkatkan kedisiplinan masyarakat? Belum tentu. 

Menilik beberapa klaster penyebaran COVID-19 yang dirilis oleh kompas.com akhir Agustus 2020 lalu terdapat beberapa klaster besar dari penularan virus ini, diantaranya Klaster Secapa AD Bandung, Klaster 3 Perusahaan di Semarang, Klaster pabrik LG Elektronics, Klaster Asrama Haji Surabaya,  dan Klaster Ijtima Gowa. 

Selain itu tempat-tempat perkantoran disinyalir menjadi kawasan utama yang meningkatkan laju persebaran COVID-19 ke tengah-tengah masyarakat. Beberapa waktu lalu ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengizinkan dilakukan kegiatan belajar mengajar tatap buka di beberapa wilayah muncul kekhawatiran terkait munculnya klaster baru penyebaran di lingkungan sekolahan. 

Dari sekian tempat atau area yang berisiko menjadi klaster persebaran virus corona hampir tidak ada yang mengatakan bahwa jalan raya menjadi salah satu kawasan yang berisiko tinggi memicu penularan. Anehnya, tidak sedikit razia di jalanan yang dilakukan untuk "menangkap" masyarakat yang tidak taat protokol kesehatan. Hal ini menandakan bahwa upaya penegakan kedisiplinan terkait protokol kesehatan belum tepat sasaran.

Upaya menanamkan kesadaran terkait bahaya virus corona COVID-19 memang sangat penting dilakukan. Apalagi dengan kondisi saat ini dimana vaksin anti virus belum dirilis produksi masal untuk dipergunakan secara luas oleh masyarakat. Mau tidak mau kita hanya bisa bertahan menghadapi situasi pandemi sekarang sembari tetap mencoba untuk tidak terpapar. Satu-satunya jalan adalah menghindari tempat-tempat rawan penularan. 

Jikalau terpaksa harus bepergian maka protokol kesehatan harus senantiasa dipatuhi. Masalahnya, terkesan bahwa sebagian masyarakat kurang disiplin dalam menjalankan hal itu. Kurangnya kesadaran atau pemahaman remeh akan bahaya COVID-19 dinilai sebagai penyebab utama hal itu terjadi. 

Tidak sedikit yang menganggap COVID-19 layaknya penyakit biasa pada umumnya. Kalau sakit tinggal berobat ke rumah sakit. Nanti bakal sembuh juga. Selain itu juga muncul pemahaman bahwa pandemi ini adalah sebuah rekayasa yang tidak perlu dipercaya. Akibatnya semua ancaman sanksi dipandang tak ubahnya bagian dari konspirasi yang membikin panik masyarakat saja. 

Ketika pemahaman semacam ini semakin meluas maka tantangan mendisiplinkan masyarakat akan semakin berat. Sudut pandang dan keyakinan masyarakat kita terhadap COVID-19 masih terbelah. Tanpa kesamaan cara pandang sangatlah sulit untuk mencari jalan keluar masalahnya.

Namun sepertinya ada satu hal yang dipandang sama oleh kebanyakan orang. Situasi yang terjadi sekarang telah menciptakan situasi ekonomi yang kurang bersahabat. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), melambatnya perekonomian, dan sejenisnya adalah satu hal yang dirasa begitu berat dirasakan oleh banyak orang. 

Meskipun sebagian orang memandang COVID-19 penuh dengan "kebohongan", tapi mereka tetap memandang bahwa kondisi ekonomi saat ini tetap butuh perbaikan. Hal ini mungkin bisa menjadi celah terkait bagaimana kedisiplinan itu ditegakkan. 

Gambaran yang ingin disampaikan kedalam pemikiran publik tidak lagi terfokus pada korban terinfeksi COVID-19 yang bisa berujung kematian, tetapi lebih kepada ancaman terhadap kondisi ekonomi. Bukan tidak mungkin sebagian dari kita sebenarnya tidak terlalu khawatir tentang kematian, tetapi justru khawatir terhadap kehidupan. 

Kondisi ekonomi yang buruk akan berdampak negatif pada kehidupan, bukan pada kematian. Kita mungkin saja tidak takut terpapar COVID-19 dengan segala keyakinan bahwa hal itu sudah digariskan oleh Sang Pencipta. Anggapan seperti inilah yang menghambat kedisiplinan terhadap protokol kesehatan. 

Lantas apakah salah pemahaman semacam itu? Apabila kita hidup seorang diri di dunia ini mungkin anggapan seperti itu sah-sah saja. Masalahnya kita ini hidup berdampingan dengan orang lain. secara otomatis risiko buruk bisa saja terjadi pada orang lain oleh sebab perantara kita yang berlaku meremehkan. Tidakkah kita kasihan kepada mereka jikalau harus menerima efek buruk sebagai akibat ulah kita?

Sepertinya bukan sanksi yang mesti digalakkan, akan tetapi pemahaman bahwa kita ini hidup bersama dengan orang lain dan bisa menjadi sebab kabar buruk bagi mereka yang tidak tahu apa-apa yang mesti dilakukan. Kehati-hatian kita dalam menuruti protokol kesehatan bukan semata untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk orang lain. 

Demikian juga jikalau kita sakit akibat terpapar COVID-19, efek sakitnya juga sangat mungkin dirasakan oleh orang-orang terdekat kita, orang tua kita, teman-teman kita, dokter dan perawat, keluarga dari dokter dan perawat, dan masih banyak lagi yang lain. Kita adalah salah satu mata rantai yang saling terjalin satu sama lain dalam situasi pandemi seperti sekarang.

Salam hangat,

Agil S Habib

Refferensi :

[1]; [2]; [3]; [4]; [5]; [6]; [7]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun