Sanksi membayar denda, menjadi sukarelawan pemakaman jenazah COVID-19, berdoa di kuburan pada tengah malam, teguran lisan, hingga berbaring didalam peti mati merupakan beberapa jenis hukuman yang coba diberlakukan kepada para pelanggar protoko kesehatan dalam rangka menangkal pandemi COVID-19 di Indonesia.Â
Meskipun beberapa jenis hukuman tersebut sudah diberlakukan ternyata hal itu tidak serta merta berhasil membendung laju penularan virus corona COVID-19 di masyarakat. Apakah ini menjadi pertanda bahwa tidak ada hukuman yang efektif untuk meningkatkan kedisiplinan masyarakat? Belum tentu.Â
Menilik beberapa klaster penyebaran COVID-19 yang dirilis oleh kompas.com akhir Agustus 2020 lalu terdapat beberapa klaster besar dari penularan virus ini, diantaranya Klaster Secapa AD Bandung, Klaster 3 Perusahaan di Semarang, Klaster pabrik LG Elektronics, Klaster Asrama Haji Surabaya, Â dan Klaster Ijtima Gowa.Â
Selain itu tempat-tempat perkantoran disinyalir menjadi kawasan utama yang meningkatkan laju persebaran COVID-19 ke tengah-tengah masyarakat. Beberapa waktu lalu ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengizinkan dilakukan kegiatan belajar mengajar tatap buka di beberapa wilayah muncul kekhawatiran terkait munculnya klaster baru penyebaran di lingkungan sekolahan.Â
Dari sekian tempat atau area yang berisiko menjadi klaster persebaran virus corona hampir tidak ada yang mengatakan bahwa jalan raya menjadi salah satu kawasan yang berisiko tinggi memicu penularan. Anehnya, tidak sedikit razia di jalanan yang dilakukan untuk "menangkap" masyarakat yang tidak taat protokol kesehatan. Hal ini menandakan bahwa upaya penegakan kedisiplinan terkait protokol kesehatan belum tepat sasaran.
Upaya menanamkan kesadaran terkait bahaya virus corona COVID-19 memang sangat penting dilakukan. Apalagi dengan kondisi saat ini dimana vaksin anti virus belum dirilis produksi masal untuk dipergunakan secara luas oleh masyarakat. Mau tidak mau kita hanya bisa bertahan menghadapi situasi pandemi sekarang sembari tetap mencoba untuk tidak terpapar. Satu-satunya jalan adalah menghindari tempat-tempat rawan penularan.Â
Jikalau terpaksa harus bepergian maka protokol kesehatan harus senantiasa dipatuhi. Masalahnya, terkesan bahwa sebagian masyarakat kurang disiplin dalam menjalankan hal itu. Kurangnya kesadaran atau pemahaman remeh akan bahaya COVID-19 dinilai sebagai penyebab utama hal itu terjadi.Â
Tidak sedikit yang menganggap COVID-19 layaknya penyakit biasa pada umumnya. Kalau sakit tinggal berobat ke rumah sakit. Nanti bakal sembuh juga. Selain itu juga muncul pemahaman bahwa pandemi ini adalah sebuah rekayasa yang tidak perlu dipercaya. Akibatnya semua ancaman sanksi dipandang tak ubahnya bagian dari konspirasi yang membikin panik masyarakat saja.Â
Ketika pemahaman semacam ini semakin meluas maka tantangan mendisiplinkan masyarakat akan semakin berat. Sudut pandang dan keyakinan masyarakat kita terhadap COVID-19 masih terbelah. Tanpa kesamaan cara pandang sangatlah sulit untuk mencari jalan keluar masalahnya.
Namun sepertinya ada satu hal yang dipandang sama oleh kebanyakan orang. Situasi yang terjadi sekarang telah menciptakan situasi ekonomi yang kurang bersahabat. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), melambatnya perekonomian, dan sejenisnya adalah satu hal yang dirasa begitu berat dirasakan oleh banyak orang.Â
Meskipun sebagian orang memandang COVID-19 penuh dengan "kebohongan", tapi mereka tetap memandang bahwa kondisi ekonomi saat ini tetap butuh perbaikan. Hal ini mungkin bisa menjadi celah terkait bagaimana kedisiplinan itu ditegakkan.Â