PT Pertamina kembali menggulirkan rencana penghapusan Bahan Bakar Minyak (BBM) murah jenis premium dan pertalite. Wacana ini sebenarnya sudah dimulai sejak beberapa waktu lalu dan sudah langsung menuai polemik. Seruan penolakan masih terus berhembus terhadap rencana tersebut hingga kini. Apalagi beberapa waktu terakhir Pertamina juga menjadi bulan-bulanan pasca kerugian besar yang mereka alami pada semester I 2020 ini. Belum lagi periode pandemi COVID-19 yang masih belum usai. Rencana penghapusan BBM murah ibarat tindakan yang tidak tahu waktu dan acuh terhadap realita.
Meskipun begitu, para petinggi Pertamina sepertinya masih menyimpan ambisi besar untuk mewujudkan rencana ini. Beberapa alasan disampaikan sebagai argumen penguat bahwa penghapusan premium dan pertalite adalah sebuah opsi bijak yang mesti ditempuh. Aspek lingkungan merupakan dalih yang paling dikedepankan terkait dengan rencana ini.
Menurut mereka premium dan pertalite dianggap kurang ramah lingkungan sehingga perlu dihilangkan. Selain itu, penilaian bahwa varian produk BBM yang dihasilkan pertamina relaitf beragam sehingga tidak baik bagi efisiensi perusahaan. Mengurangi jumlah varian adalah opsi paling logis untuk memperbaiki efisiensi perusahaan. Dengan demikian menghapus premium dan pertalite dari peredaran adalah sebuah solusi jitu untuk memperbaiki kinerja Pertamina.
Terkait dengan alasan tidak ramah lingkungan mungkin akan kita kesampingkan dulu. Disini saya ingin menyoroti rencana penghapusan BBM murah premium dan pertalite dan dampaknya terhadap efisiensi perusahaan plat merah tersebut. Semakin banyaknya varian produk yang harus diproduksi maka hal itu pasti akan berpengaruh terhadap operasional perusahaan.
Fokus perusahaan mesti terbagi-bagi untuk beberapa hal yang mesti mereka produksi. Imbasnya, treatment yang dilakukan pun bisa jadi berbeda-beda untuk setiap varian produk yang ada. Risiko yang timbul pun juga bisa semakin bertambah seiring dengan banyaknya varian produk ini. Simplifikasi varian produk merupakan salah satu cara yang bisa dimaksimalkan untuk menekan hal itu. Adanya beberapa varian produk menjadikan setiap storage terisi dengan produk-produk yang berbeda.
Apabila jumlah varian diperkecil maka jumlah storage yang ada akan bisa diperuntukkan untuk jenis produk yang lebih sedikit. Misalnya, dengan hanya tiga storage yang tersedia dan ada tiga varian produk premium, pertalite, dan pertamax maka masing-masing storage tersebut akan terisi oleh tiga varian produk yang berbeda. Seandainya premium dan pertalite dihapus maka tiga storage yang ada hanya akan terisi oleh pertamax saja. Apakah hal ini akan berdampak pada efisiensi? Seharusnya iya.
Kapasitas penyimpanan untuk pertamax akan meningkat apabila premium dan pertalite dihilangkan. Fokus peningkatan produktivitas operasional produksi pertamax semestinya bisa lebih intens dilakukan mengingat fokus yang harus dibagi berkurang. Demikian juga distribusi akan turut terbantu dengan varian yang semakin minimalis. Itu adalah kondisi idealnya. Padahal kita semua tahu bahwa masalah BBM ini seringkali menjadi isu sensitif yang terus berlanjut dari era pemerintahan satu ke era pemerintahan yang lain. Sehingga semestinya setiap ide yang diajukan juga mesti dipikir panjang akibatnya.
Apabila BBM hanya menjadi pertamax saja selain kategori solar, maka apakah Pertamina bisa menjamin bahwa kinerja mereka akan membaik? Setidaknya ada peningkatan efisiensi sehingga harga jual Pertamax bisa diturunkan dan tidak semahal sekarang. Selisih harga beberapa ratus rupiah saja sangat berharga bagi masyarakat.
Jangan sampai penghapusan premium dan pertalite justru menjadi bentuk "pemaksaan" baru bagi rakyat untuk membeli BBM harga selangit. Jikalau nanti harga pertamax terus melambung maka gelombang protes pasti akan menyeruak. Ketika hal itu terjadi maka biasanya kebijakan panik akan muncul sehingga mungkin akan muncul lagi varian pertamax kelas 1, 2, dan 3. Dengan kata lain premium dan pertalite muncul lagi dalam bahasa yang berbeda. Kalau sampai hal itu terjadi bukankah akan terlihat lucu?
Salam hangat,
Agil S Habib
Refferensi :
[1]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H