Tiba-tiba stasiun televisi Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) membuat geger dunia maya seiring langkahnya melayangkan gugatan agar layanan video livestreaming dimasukkan dalam klasifikasi penyiaran.Â
Konsekuensi dari munculnya gugatan tersebut maka segenap netizen yang selama ini gemar melakukan siaran langsung melalui platform media sosial terancam tidak akan bisa melakukannya lagi.Â
Gegaranya setiap perusahaan pemilik layanan seperti Facebook, Google, Instagram, dan lain-lain mesti mengantongi izin penyiaran terlebih dahulu. Tak ayal akibat dari hal ini para penikmat jagad dunia maya pun beramai-ramai mengecam langkah RCTI tersebut.
Terkait dengan sikap RCTI ini saya teringat dengan tulisan Prof. Rhenald Kasali dalam buku Disruption.
RCTI sebagai pemain lama dalam jagat media Tanah Air selama bertahun-tahun malang melintang menghadirkan berbagai tayangan hiburan, berita, reality show, olah raga, dan lain sebagainya sebagai roda bisnis utama mereka.Â
Bisa dibilang RCTI sudah memiliki cengkraman cukup kuat dalam menguasai tayangan via layar kaca Tanah Air. Segenap warga Indonesia sudah tidak asing lagi dengan tayangan-tayangannya.Â
Apalagi ketika stasiun televisi mencapai puncak popularitas sebelum kini mulai digeser oleh platform media sosial (medsos).Â
Terlebih para kalangan milenial yang cenderung lebih menyukai konten-konten kreasi netizen ketimbang dari rumah produksi yang selama ini membidani berbagai program acara televisi.Â
Saya pribadi cenderung lebih senang menghabiskan waktu menonton tayangan di youtube ketimbang menyaksikan acara di televisi. Pertimbangannya bisa jadi untuk setiap orang berbeda-beda.Â
Namun jeda iklan di televisi bisa dibilang sesuatu yang paling dihindari karena terlalu banyak dan terlalu lama dibandingkan program acaranya sendiri.Â
Belum lagi "keterbatasan" program acara televisi yang tidak sebanding dengan hiburan yang ditawarkan oleh medsos seperti youtube atau sejenisnya. Belum lagi keleluasaan kita dalam memilih acara yang hendak ditonton.Â