Saat masih kecil dulu saya dan teman-teman sebaya begitu senang sekali kala ada kerabat atau tetangga yang akan menggelar acara pernikahan atau khitanan.Â
Kedua jenis hajatan itu umumnya merupakan momen hajatan "akbar" yang digelar oleh suatu keluarga. Terlebih bagi mereka keluarga kalangan berada yang menyuguhkan pertunjukan seperti wayang kulit, reog, ludruk, dan lain sebagainya.Â
Meski sebuah hajatan tidak menyuguhkan acara hiburan tertentu seperti beberapa hal tadi. tetapi umumnya setiap keluarga yang menggelar acara akan melalui beberapa rangkaian kegiatan selama beberapa hari. Didaerah saya beberapa hari tersebut dikenal dengan istilah marut kelopo, njenang, manggulan, dan denge.
Hari pertama sebuah gelaran hajatan biasanya akan diawali dengan kegiatan memarut kelapa (marut kelopo) yaitu si tuan rumah dengan dibantu para sanak kerabat dan juga tetangganya akan memarut kelapa untuk diperas santannya. Layaknya sebuah hajatan maka jumlah kelapa yang diparut pun sangat banyak.Â
Santan kelapa ini nantinya akan dijadikan sebagai bahan baku utama salah satu sajian yang akan dihidangkan kepada para tamu pada hari-H acara. Biasanya para kaum ibu yang melakukan kegiatan ini.Â
Sedangkan kaum bapak umumnya membantu mengupas kulit kelapanya. Disertai canda tawa kegiatan tersebut dilakukan penuh suka cita. Terasa sekali kebersamaan di dalamnya.Â
Selain memarut kelapa, tuan rumah juga akan menyiapkan hidangan lain terutama jajanan tradisional untuk melengkapi sajian kepada para tamu.Â
Kegiatan tersebut sebenarnya tidak selalu tuntas pada hari pertama, kadang beberapa diantaranya masih perlu dilanjutkan pada hari berikutnya. Apalagi jika tamu yang diperkirakan datang jumlahnya banyak.
Pada hari kedua rangkaian kegiatan hajatan dikenal dengan istilah njenang atau proses mengolah sajian makanan yang dalam istilah jawa dikenal dengan sebutan "jenang".Â
Apabila kita pernah melihat jajanan "dodol" maka penampakannya seperti itu. Berwarna coklat, lengket, manis, dan ulet. Terbuat dari perpaduan antara ketan, santan kelapa, gula merah, dan beberapa bahan lain.Â
Proses marut kelopo pada hari pertama salah satunya dimaksudkan untuk menyiapkan bahan baku pembuatan "jenang" di hari kedua. Proses njenang ini cukup menarik karena menyita waktu yang tidak sebentar. Proses memasak yang dimulai dari pagi hari baru akan selesai pada sore hingga malam hari.
Perlu berjam-jam untuk menuntaskan proses pembuatan jenang ini. Umumnya ada wajan berukuran besar dengan jumlah mencapai 5 sampai 10 buah tergantung berapa banyak porsi jenang yang akan dimasak.Â
Pada satu wajan bisa 2 sampai 3 orang yang turut mengadut adonan jenang. Semakin lama adonan yang awalnya hanya santan kelapa bercampur dengan beberapa barang lain akan semakin mengeras dan makin berat untuk diaduk. Mereka yang mengaduk pun harus bergantian melakukan hal ini agar tidak terkuras tenaganya.Â
Pelan tapi pasti, disertai kesabaran dan kucuran keringat akibat lelah dan panas bara api maka jenang pun selesai dibuat. Dalam kondisi masih hangat rasa jenang akan jauh lebih nikmat dibandingkan saat sudah dingin.Â
Jenang yang sudah matang kemudian akan dituangkan diatas lembaran-lembaran daun pisang dan dibiarkan mendingin. Sebagian dibungkus untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang turut membantu proses pembuatan jenang tersebut.Â
Jenang yang sudah dingin diatas lembaran daun-daun pisang pisang itu kemudian akan dipotong kecil-kecil untuk nantinya disajikan kepada tamu-tamu yang datang menghadiri hajatan.
Selepas melalui periode marut kelopo dan njenang maka prosesi acara hajatan pun berlanjut ke "fase" selanjutnya yaitu manggulan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan saat manggulan ialah kegiatan "finalisasi", geladi bersih, dan juga acara menyebarluaskan undangan kepada kerbat dekat maupun jauh yang diharapkan kehadirannya nanti pada hari-H acara.Â
Dalam tradisi Jawa undangan umumnya tidak diberikan sebatas lembaran kertas, melainkan serenteng atau seporsi besar makanan lengkap dengan sayur dan lauknya.Â
Bisa daging sapi, ayam, kambing, ataupun telur ayam. Tergantung kemampuan masing-masing orang yang mengadakan hajatan. Porsi itu akan dikirimkan oleh orang-orang yang turut membantu persiapan hajatan sejak hari pertama hal itu dilakukan. Mereka akan berkeliling menuju rumah-rumah kerabat yang diundang untuk hadir dalam acara.Â
Biasanya pada fase manggulan ini ada kegiatan doa bersama dengan beberapa tamu undangan untuk turut mendoakan kelancaran acara tersebut sekaligus memberikan doa restu kepada mempelai yang menikah, atau mendoakan anak yang tengah dikhitan. Pada hari ini semua akan ditinjau ulang untuk memastikan acara besok bisa berjalan dengan lancar.
Pada hari keempat atau hari-H acara yang lebih dikenal dengan istilah denge maka pada saat itulah puncak dari proses acara hajatan yang selama beberapa hari terakhir disiapkan.Â
Apabila hajatan itu merupakan acara pernikahan maka biasanya akan ada prosesi adat pernikahan antar kedua mempelai. Iring-iringan pengantin juga biasanya dilakukan pada hari H acara ini.Â
Pertunjukan-pertunjukan atau tontonan hiburan pun akan dijadikan pada hari ini. Kemudian para tamu undangan pun akan banyak yang berdatangan pada hari ini. momen muncak perayaan dari acara hajatan.Â
Bagi kita mungkin hari-H ini sudah sangat umum diketahui seiring banyaknya anggapan bahwa hajatan itu intinya hanya pada hari puncak acara itu saja.Â
Namun bagi masyarakat Jawa denge adalah bagian akhir dari serangkaian prosesi hajatan yang disiapkan penuh harmoni gotong rotong dan tahap demi tahap. Hajatan adat Jawa tidak sebatas hari H acara saja, tapi harus melalui fase marut kelopo, njenang, dan manggulan.
Sayangnya dewasa ini saya pribadi merasa bahwa proses semacam itu sudah sangat sulit untuk ditemui. Terutama pasca tinggal di kota besar dan jauh dari kampung halaman.Â
Seolah-olah setiap acara hajatan itu hanya ada satu tahap saja. Hari H acara. Persiapan di hari-hari sebelumnya seperti sebuah aktivitas biasa yang tidak memiliki keterkaitan jelas samasekali.Â
Sekadar persiapan biasa untuk melancarkan hari H. Mungkin inilah salah satu contoh kearifan lokal dan warisan budaya bangsa kita dimana disana mengajarkan gotong royong, proses, atensi terhadap detail, dan sebagainya. Terkesan bertele-tele memang karena harus menjalani hari ini dan itu. Tapi justru disanalah letak keunikannya. Indahnya warisan budaya kita.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H