Baru-baru ini pihak Indonesian Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa pemerintah telah menghabiskan dana sekitar Rp 90,45 miliar untuk belanja jasa influencer.Â
Besaran dana tersebut adalah yang dibelanjakan oleh pemerintah dari tahun 2017 sampai tahun 2020 berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan ICW pada situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Â
Namun pihak istana melalui Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral menyatakan bahwa angka Rp 90,45 miliar itu merupakan jumlah keseluruhan dari anggaran kehumasan.Â
Menurut Donny dana tersebut dipergunakan oleh istana bukan hanya untuk jasa influencer saja, tetapi juga untuk iklan layanan masyarakat, sosialisasi program pemerintah, dan lain-lain.
Terkait dengan adanya anggaran untuk jasa influencer ini peneliti kebijakan publik dari Universitas Indonesia Defny Holidin menilai bahwa jasa influencer sebenarnya tidak diperlukan.Â
Bahkan menganggap hal itu sebagai pemborosan. Apalagi menurutnya informasi yang disebar oleh influencer kerap kali bergeser dari informasi yang seharusnya sehingga berpotensi membahayakan publik.
Kalau boleh bertanya sebenarnya pemerintah menggunakan jasa influencer itu untuk apa? Tidak cukupkah portal informasi yang sekarang dimiliki istana untuk menyebarluaskan informasi kepada publik?Â
Toh, era presiden terdahulu yaitu pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak menggunakan jasa influencer dalam rangka menyosialisasikan kebijakan pemerintah.Â
Menurut politikus Partai Demokrat Didik Mukrianto kuncinya terletak pada kebijakannya yang harus transparan, akuntabel, serta berpihak pada kepentingan rakyat.Â
Dengan demikian "fungsi" influencer akan dijalankan langsung oleh rakyat yang mengapresiasi kebijakan positif pemerintahnya untuk kemudian disebarkan kepada warga yang lain. Mirip getok tular. Apabila "metode" tersebut berhasil maka anggaran jasa influencer tentunya bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan.
Pihak istana memang menyatakan bahwa tidak semua dari anggaran Rp 90,45 miliar itu diperuntukkan kepada para influencer. Hanya saja mereka tidak menjelaskan secara rinci berapa prosentase penggunannya.Â
Bukan tidak mungkin proporsi pendanaan influencer jauh melebihi pos anggaran kehumasan yang lain. Apabila istana ingin meluruskan informasi yang dipublikasikan ICW maka menunjukkan rilis data resmi proporsi tersebut sangatlah diperlukan. Kalau sebatas menyangkal dengan narasi argumentatif dan data kualitatif maka sulit untuk membuktikan. Jika hal itu sudah dilakukan maka tinggal adu akurasi data saja.
Angka 90 miliar itu bukan angka yang kecil meskipun anggaran lain bisa jadi menyentuh angka triliunan rupiah. Namun daripada dialokasikan untuk sesuatu yang kurang berfaedah maka alangkah baiknya jikalau dana itu disalurkan untuk rakyat kecil yang mengalami kesulitan ekonomi.Â
Terlebih di masa pandemi COVID-19 seperti sekarang. Jangan sampai dana sebesar 90 miliar menguap begitu saja untuk sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dilakukan.Â
Apalagi kalau justru karena alokasi dana itu juga bias informasi yang beredar di ranah publik menjadi rancu dan ruwet. Karena pada akhirnya setiap kebijakan pemerintah itu seharusnya menyatukan, bukan memecah belah.
Salam hangat,
Agil S Habib
Refferensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H