Sudah menjadi sesuatu yang jamak untuk dilakukan tatkala kita mengawalai suatu aktivitas dengan melafalkan doa terlebih dahulu. Ketika sebelum memulai pekerjaan, saat hendak membuka kegiatan belajar mengajar, atau jelang menyantap hidangan saat makan-makan bersama.
Sebagian kalangan umumnya berdoa dengan dipimpin oleh satu orang tertentu, yang mana dalam prosesnya doa tersebut bisa dikumandangkan dengan lantang oleh sang pemimpin doa sedangkan yang lainnya meng-Amin-kan.
Namun ada juga yang meminpin doanya dengan sekadar mengajak menundukkan kepala sembari memberi "aba-aba" untuk berdoa dalam hati masing-masing. Terkait dengan aba-aba untuk berdoa ini, apakah sebaiknya menggunakan istilah "mulai" atau "dipersilahkan"?
Rasa-rasanya mempergunakan kalimat, "Berdoa mulai!" seperti menyisakan kesan bahwa berdoa itu seperti perlombaan yang mana ada titik awal untuk memulai dan titik akhir penyelesaian.
Selayaknya perlombaan, akan ada suasana ketika diburu waktu atau ingin mendahului satu sama lain. Mungkin kita pernah memperhatikan beberapa aktivitas berdoa semacam ini dimana ada sebagian orang yang belum tuntas mengucap doanya namun sang pemimpin doa sudah memberi aba-aba "berdoa selesai".
Doanya menjadi kurang khusyuk karena bersaing dengan waktu. Apabila sang pemimpin doa memberi kesempatan cukup lama untuk berdoa maka para peserta doa yang lain akan memiliki cukup waktu untuk melafalkan doa-doanya. Begitu pun sebaliknya.
Sebenarnya hal ini juga senada dengan aba-aba yang mengatakan, "Berdoa dipersilahkan!". Hanya saja disini kesannya lebih halus. Bukan memerintah atau menyuruh untuk berdoa, melainkan memberikan kesempatan kepada orang-orang disana untuk berdoa secara sukarela.
Dalam hal ini antara "mulai" dan "dipersilahkan" sebenarnya memiliki maksud yang sama, tetapi bentuk "penghalusannya" saja yang berbeda.
Lebih esensial dari hal itu yang mesti kita perhatikan adalah seberapa cukup waktu yang diberikan oleh pemimpin doa kepada "jamaahnya" untuk melafalkan doa masing-masing. Idealnya adalah tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu lama. Proporsional.
Satu atau dua menit barangkali merupakan waktu standar untuk memanjatkan doa. Kalau baru beberapa detik saja waktu yang diberikan untuk berdoa maka makna dari pengumandangan doa itu bisa jadi tidak sampai merasuk ke dalam perasaan.
Sebatas formalitas kepala menunduk tapi hati  dan pikiran melayang kemana-mana. Padahal esensi berdoa adalah mengikutsertakan keterlibatan Dzat yang Maha Kuasa untuk turut membimbing kita dalam menjalani dan menuntaskan setiap pekerjaan kita.
Sehingga apa yang kita lakukan senantiasa memiliki hikmah dan menjadi nilai kebaikan bagi diri kita masing-masing.
Berdoa itu perlu dan selayaknya selalu diberi kesempatan dalam setiap kegiatan, aktivitas, atau acara-acara yang kita lakukan. Hal ini menandakan kita sebagai pribadi yang memiliki ketergantungan kepasa Sang Pencipta bahwa setiap langkah kita selalu berada dalam pantauan-Nya.
Untuk itu kita harus berupaya agar jalan yang kita tempuh, pekerjaan yang kita lakukan, dan langkah-langkah yang kita gerakkan senantiasa memiliki nilai ibadah.
Semoga apa yang kita kerjakan hari ini dinilai sebagai sebuah ibadah yang tulus kepada-Nya.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H