Begitu seterusnya hingga amarah itu menyebar luas terkecuali sebagian dari mereka yang menjadi sasaran amarah mampu menetralisir hal itu sehingga tidak "menularkannya" lagi kepada orang lain. Amarah yang menjalar kemana-mana bukanlah sebuah kabar baik untuk menciptakan kondusivitas dan harmoni kerja.Â
Memang sebagian orang ada yang memaklumi sikap para bos atau atasan yang berlaku demikian dengan menjadikan marah sebagai bagian dari "tabiat" pemimpin. Namun tidak bisakah "gaya" seperti itu diubah?Â
Ataukah diperlukan keselarasan baru didalam segenap anggota komunitas atau organisasi untuk turut menciptakan budaya kerja yang menihilkan "kosakata" marah dalam tatakelolanya. Â Kalau bisa dibilang, menjadi seorang pemimpin sebenarnya bukanlah legitimasi untuk terus "memproduksi" amarah demi amarah dalam penunaian tugasnya.
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H