Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mungkinkah Pak Kyai Nonton Film Porno?

30 Juli 2020   14:30 Diperbarui: 30 Juli 2020   14:27 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: www.liputan6.com

Sebuah tindak pelecehan seksual kembali dialami anak-anak. Mirisnya kali ini pelakunya adalah seorang pengasuh pondok pesantren yang identik dengan sosok penuh teladan keagamaan. Tapi justru berlaku asusila yang bertolak belakang dengan martabatnya sebagai panutan yang patut ditiru.

Menilik latar belakang sebagai seseorang yang paham agama, terasa aneh saat mendapati bahwa kejahatan seksual tersebut justru dilakukan oleh kalangan ini. Padahal pemanaham agama pengasuh pesantren pastilah lebih tinggi dari orang-orang kebanyakan. Apalagi pengetahuan mengenai dosa, haram, dan neraka. Tapi mengapa kejahatan semacam ini justru masih saja diperbuat? Apa sebenarnya yang mendorong para "kyai" itu sehingga berani melanggar larangan agamanya?

Seorang pemuka agama, pengasuh pondok pesantren sampai berani berbuat nista melakukan perzinahan dengan kekerasan alias pencabulan kepada santrinya tentu adalah sesuatu yang luar biasa. Dorongan apa gerangan yang membuatnya demikian berani? Nafsu yang mencapai ubun-ubun? Pasti. Bisikan setan cabul? Jelas. Bahkan seorang biasa dengan latar belakang ilmu agama biasa-biasa saja pun mengalami hal demikian.

Masalahnya adalah apakah ia mampu meredam godaan itu atau tidak. Lagipula syahwat yang membumbung tinggi itu biasanya tidak terjadi dengan sendirinya. Kemungkinan besar ada "pasokan" informasi awal yang membuat si pelaku akhirnya berbuat demikian.

Pasokan informasi itu sudah menyentuh hasrat sensitif di dalam dirinya, sehingga ketika ada pemicu kecil saja seperti melihat paras wajah cantik seorang perempuan maka tindakan bejat itu pun akhirnya dilakukan. Ironisnya, perbuatan serupa sudah terjadi lebih dari satu kali. Artinya "kandungan" unsur syahwat didalam hati pelaku itu sudah mengendap demikian banyak.

Lantas bagaimana bisa hal itu terjadi? Bagaimana bisa seorang pengasuh pesantren memiliki gejolak syahwat demikian besar? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, fantasi liarnya terpacu karena berulang kali melihat informasi berbau mesum di sekitarnya. Mungkin pernah secara sengaja atau tidak sengaja mendapati pemandangan yang "seronok" atau membaca berita-berita berbau hal-hal yang demikian.

Kedua, pernah menonton film porno dan terpacu gejolak syahwatnya sehingga memerlukan pelampiasan. Tapi masa iya seorang pemuka agama, kyai, pengasuh pesantren menjadikan film porno sebagai tontonannya? Jika melihat kebobrokan aksi sebagian orang berlatar belakang sejenis maka bukanlah kemustahilan bahwa film-film mesum menjadi bagian dari "konsumsi" mereka.

Apalagi tidak bisa dipungkiri bahwa akses teknologi sudah merambah keseluruh kalangan termasuk para pemuka agama. Dengan demikian potensi informasi berbau syahwat seksualitas pun bisa sampai juga kepada mereka. Rasa penasaran seseorang saat ini dengan mudahnya dicari jawabannya. Mbah Google seolah-olah menjadi pintu kemana saja bagi siapapun yang membutuhkan pasokan informasi.

Dengan pintu ke mana saja itu pula seseorang bukan tidak mungkin "tersasar" menuju kawasan maksiat khususnya berbau pornografi. Membuat salah satu sisi otak didalam kepala seseorang bekerja dengan lebih kreatif untuk menuntaskan rasa penasarannya. Sayangnya, sebagian orang justru terjerumus semakin dalam dan malah merugikan orang lain melalui tindakan nekad berbalut syahwat yang mereka perbuat.

Sebenarnya bukan hanya kyai, setiap orang pun harus semakin waspada dengan setiap informasi yang masuk ke kepalanya. Bukan tidak mungkin informasi itu meracuni pikiran kita dan mengusik rasa penasaran sehingga menuju pada perilaku yang merugikan. Untuk itulah kita diberikan kecerdasan dan akal supaya bisa memfilter mana yang layak dan mana yang tidak. Kecerdasan mengelola nafsu dan berfikir secara rasional.

Pengetahuan kita yang baik jikalau ditimpa dengan hal-hal yang mampu "menyerang" langsung sisi nafsu hewani seseorang bisa saja membuatnya terperdaya, lemah, dan kehilangan kendali. Sehingga cara terbaik adalah mengontrol isi otak ini agar tidak berfikir kebablasan. Pertimbangan jangka panjang dan penuh perhitungan bahwa akan adanya hal buruk dimasa mendatang jikalau kita berbuat sesuatu yang dilarang itu.

Mungkinkah Pak Kyai tadi tidak berfikir dirinya akan dipenjara akibat aksinya? Apakah para pelaku kejahatan seksual itu mengira akan bebas dari setiap tindakan bejatnya?

Setiap orang harus menyadari bahwa penyesalan itu ada di belakang, bukan di depan. Sekarang ini "pencemaran" informasi terjadi dimana-mana. Dan hanya ada satu cara untuk menangkalnya, yaitu berfikir.  Bahkan seorang kyai pun harus berfikir panjang atas setiap tindakannya. Bagaimanapun mereka bukan sosok yang pasti terbebas dari salah. Hanya saja apakah mereka meniti jalan yang tepat untuk melakukan upaya itu atau tidak.

Salam hangat,

Agil S Habib 

Refferensi :

[1]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun