Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Solo "Zona Hitam" Politik Dinasti?

23 Juli 2020   07:15 Diperbarui: 23 Juli 2020   07:18 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gibran dan Jokowi | Sumber gambar: www.cnnindonesia.com

Pertanyaan serupa juga perlu diajukan kepada PDIP, andaikata Gibran bukan putra dari Jokowi akankah mereka tetap memilihnya dibandingkan Achmad Purnomo?

PDIP sepertinya bersikap secara rasional terkait pemilihan Gibran dibandingkan Purnomo. Elektabilitas Gibran yang berhasil melampaui kompatriotnya itu jelas menjadi salah satu pertimbangan penting selain keberadaan Jokowi. 

Bagaimanapun juga dalam dunia politik masa kini elektabilitas serta popularitas masih menjadi dasar pengambilan keputusan yang cukup strategis dalam politik. Ini bukan sesuatu yang aneh. 

PDIP sudah menerapkan cara serupa beberapa tahun lalu kala "mengingkari" janji dengan Prabowo yang sayogyanya pada pemilihan umum presiden (pilpres) 2014 mengirimkan kader sebagai pendamping Prabowo malah justru menjadi rival. Hal itu terjadi salah satunya juga karena elektabilitas Jokowi yang lebih unggul dibandingkan Prabowo.

Politik akan selalu mengedepankan aspek kepentingan. Mana yang lebih menguntungkan dan memiliki nilai "ekonomis" lebih baik pasti akan lebih diutamakan. Begitupun dengan politik dinasti, hal itu tidak selalu menjadi harga mati apabila tidak dibarengi dengan daya jual tinggi yang dimiliki kandidat. 

Gibran boleh menjadi putra dari Jokowi, tapi memang dia juga memiliki pesona tersendiri di mata warga Solo yang tercermin melalui elektabilitas miliknya. Tentu ada alasan tersendiri yang dimiliki oleh warga Solo terkait persepsi mereka terhadap sosok Gibran. Entah karena dia adalah putra Jokowi, entah karena dia memiliki rekam jejak politik yang masih "murni", atau karena hal lainnya. 

Wong Solo pasti tahu apa yang terbaik untuk kepentingan diri mereka dan siapa pemimpin terbaik yang layak untuk mereka percaya. Kita yang bukan warga Solo mungkin hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi mereka. 

Jika pada akhirnya Gibran memang berhasil mendapatkan mandat untuk menjadi Wali Kota Solo sebagaimana ayahnya dulu, maka ia harus menunjukkan bahwa dirinya layak untuk itu. Sekaligus membuktikan seberapa baik kapasitasnya sebagai seorang pemimpin.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam pandemi COVID-19 ini Solo disebut menjadi salah satu wilayah zona hitam persebaran virus corona COVID-19 di Indonesia. Apabila Gibran terpilih kelak maka ia harus membuktikan bahwa bisa memimpin Solo jauh lebih baik dari sekarang. 

Narasi tentang kotak kosong versus otak kosong yang digaungkan beberapa kalangan semestinya menjadi pelecut semangat Gibran untuk membuktikan siapa dirinya. Bermodal elektabilitas saja dan apalagi popularitas sang ayah jelas tidak akan membantunya untuk mendapatkan pengakuan dari berbagai pihak yang menaruh keraguan atas dirinya. 

Salah-salah hal itu justru akan menciptakan kesan "zona hitam" dinasti politik yang mana sebuah daerah dipimpin oleh pemimpin tidak berkompeten, tapi sebatas memiliki kaitan kekerabatan dengan seorang figur lain yang memegang jabatan strategis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun