Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masih Ribut Gelar Pahlawan Pak Harto? Kirimi Beliau "Al Fatihah" Saja

20 Juli 2020   07:32 Diperbarui: 20 Juli 2020   07:35 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Partai Berkarya bisa dibilang sebagai jejak sisa "peninggalan" nostalgia era order baru mengingat sang pemimpin partai tersebut, Tommy Soeharto, adalah salah sorang putra mahkota dari keluarga Cendana. "Jualan" Partai Berkarya untuk merebut kembali simpati dan atensi masyarakat adalah dengan menggaungkan kembali "stabilitas" yang terjadi pada masa pemerintahan order baru serta segenap prestasi "semu" lainnya. 

Almarhum Presiden Soeharto tidak bisa dipungkiri merupakan salah satu sosok yang paling "dibenci" para aktivitas di masa lalu, khususnya oleh mereka yang turut terjun dalam menggulingkan rezim tersebut pada medio 1998 lalu. 

Akan tetapi dengan begitu rumitnya kondisi Bangsa Indonesia selama beberapa tahun terkahir ini Partai Berkarya sepertinya tengah mengintip celah "kerinduan" publik akan sebuah stabilitas sebuah negara. 

Diingatkannya kembali memori publik akan masa-masa dimana kegaduhan politik tidak terlihat dimana-mana merupakan senjata andalan Tommy dkk untuk mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat. 

Figur Presiden Soeharto kembali dieuforiakan layaknya partai sebelah yang gencar mengusung filosofi Soekarno. Jika Soekarno sudah terkenal dengan label sebagai Bapak Proklamasi, Soeharto bagi sebagian kalangan diakui sebagai Bapak Pembangunan. Masih kurang, Tommy Soeharto dan partai besutannya menginginkan agar almarhum Presiden Soeharto juga mendapatkan gelar kehormatan sebagai pahlawan nasional.

Sejauh ini publik memang masih terbelah dengan opini dan gagasan yang menjadikan Soeharto sebagai salah satu sosok pahlawan nasional. Mengapa? Ceritanya panjang kali lebar kali tinggi. Tapi singkatnya, sejarah perjalanan order baru yang menguasai Indonesia hingga periode 32 tahun lamanya itu dianggap meninggalkan banyak cacat dan sakit hati dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Pembantaian tanpa pengadilan terkait Partai Komunis Indonesia (PKI), penculikan para aktivitas, penembak misterius, Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN), dan masih banyak lagi yang lainnya hanyalah sebagian dari daftar panjang "dosa" Soeharto di masa lalu. Seandainya beliau masih belum wafat mungkin orang-orang yang merasa sakit hati kepada beliau akan terus memperkarakan upaya hukumnya.

Bagi sebagian orang luka itu masih tetap membekas. Terlebih belum ada penghakiman apapun yang bisa menunjukkan almarhum Soeharto bersalah atau tidak. Mengusulkan gelar pahlawan nasional justru menjadi pemantik luka lama yang bukannya membuat almarhum tenang di alam baka, malah justru sebaliknya. 

Sebagai anak yang shaleh, cara Tommy memuliakan sang ayah seharusnya bukanlah dengan menggembar-gemborkan kelayakan gelar pahlawan nasional, melainkan dengan mengirimi almarhum doa. Minimal "Al-Fatihah", atau lebih bagus lagi bagikan sebagian harta-harta yang ia miliki untuk membantu masyrakat yang sedang merana akibat pandemi COVID-19. 

Ketimbang memicu luka lama atau memantik rasa tidak terima dengan usulan gelar pahlawan nasional, jauh lebih aman untuk mengapresiasi jasa Pak Harto dalam balutan doa. 

Karena bagaimanapun juga gelar pahlawan nasional tidak akan menaikkan sedikitpun derajat Pak Harto di hadapan Sang Khaliq. Biarkan beliau menjalani periode kehidupan selanjutnya sesuai amal ibadah beliau. Sang Pencipta lebih tahu cara membalas amal perbuatan setiap hamba-Nya selama hidup di dunia.

Bangsa Indonesia memang punya story khusus dengan mendiang Presiden Soeharto. Seperti halnya bangsa ini juga memiliki kenangan masing-masing dengan beberapa presiden lain yang sudah "mangkat". Sayangnya generasi bangsa kita di masa kini lebih cenderung menggugah kebanggaan masa lalu tanpa mampu meyakinkan pemikiran yang visioner. 

Selalu saja kelebihan masa lalu yang dikulik dan dijadikan alat dagang politik serta iming-iming untuk merebut kekuasaan. Hingga terkesan bahwa visi sebagian pelaku politik bangsa ini adalah kembali ke masa lalu. Pantas saja kalau akhirnya Indonesia selalu jalan di tempat, gagal move on, dan tidak memiliki semangat kebaruan yang mumpuni. 

Soehartoisme, Soekarnoisme, dan sebagainya. Bukankah lebih baik untuk melihat jati diri bangsa ini dimasa mendatang? "Jas Merah" memang ada benarnya, tapi hal itu tidak berarti kita harus terkungkung oleh masa lalu untuk mengatur laju bangsa ini. 

Cobalah untuk menjadi para visioner yang mampu melihat bangsa ini beberapa dekade mendatang. Seolah kita baru merdeka beberapa tahun kemarin saja. 

Ingat, bulan depan Indonesia sudah memasuki dirgahayu kemerdekaannya yang ke-75. Diamond age. Tapi kita masih saja bergelut dengan masa lalu.

Salam hangat,

Agil S Habib 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun