Apakah pandemi COVID-19 sudah berakhir? Jawabannya adalah belum. Paling tidak itulah yang dialami oleh Indonesia. Bahkan setiap harinya jumlah kasus terus saja bertambah. Memecahkan "rekor" baru penambahan kasus terinfeksi harian. Namun seakan hal itu kini sudah sangat biasa saja bagi sebagian orang. Bertambah 1000 korban per hari biasa saja. Bertambah 1500 orang per hari juga biasa saja. Mungkin bertambah 5000 orang korban per hari sekalipun juga akan sangat biasa-biasa saja. Tanpa harus membandingkan dengan beberapa negara lain yang memang kebanyakan juga mengalami situasi serupa, Indonesia seakan sudah kehilangan energi untuk melawan pandemi COVID-19.
Kita lebih memilih untuk "berdamai" dan "hidup berdampingan" dengannya. Sebuah sebutan lain untuk kata "menyerah" mungkin lebih tepatnya. Jargonnya memang seperti tidak menunjukkan hal itu, new normal. Tapi sebenarnya kita sudah mengabaikan banyak hal berharga dalam hidup ini. Menganggap ketidaknormalan sebagai sebuah kenormalan.
Lebih lanjut lagi hal itu dikampanyekan melalui sebuah lomba video berhadiah 168 miliar rupiah. Sebagai perbandingan, anggaran untuk riset terkait virus corona ini "hanya" sekitar 49 miliar rupiah. Selisih 119 miliar rupiah. Melihat angka ini saja kita sudah bisa menarik kesimpulan bahwa negara ini kehilangan esensi dari penuntasan sebuah pandemi. Justru yang terkesan adalah kita mengizinkan pandemi tersebut untuk terus hidup dan bertahan lebih lama lagi di bumi pertiwi yang kita cintai ini.
Kita meyakini bahwa sektor ekonomi dan juga kesehatan masyarakat merupakan dua aspek yang perlu dijaga bersama-sama. New normal adalah sebuah solusi jangka pendek agar roda ekonomi terus berputar tanpa harus menciptakan angka penularan yang membabi buta. Hanya saja kita tidak bisa terus menjalani hidup terus-menerus seperti ini.
Berharap agar masyarkat mengikuti setiap protokol kesehatan seperti jaga jarak, mengenakan masker, ataupun rutin mencucui tangan sembari menantikan angka terinfeksi terus menurun setiap harinya, jumlah pasien sembuh terus bertambah setiap harinya, hingga akhirnya pandemi berhenti dengan sendirinya. Situasinya tidaklah sesederhana itu.
Apa yang kita lakukan saat ini dengan cara pendekatan yang relatif samaselama beberapa waktu terakhir bisa dibilang sebagai suatu kegilaan. Bagaimana tidak, mengharapkan hasil yang berbeda sedangkan upaya yang dilakukan masih sama dengan sebelum-sebelumnya apakah itu bukanlah suatu kegilaan? Kalau mau dibilang bahwa sebenarnya ada hasil yang berbeda, maka hal itu hanyalah angka terinfeksi yang terus bertambah (berubah) setiap harinya.
Nihil Kebijakan Substansial
Sejak pertama kali pandemi ini melanda Indonesia, memang pemerintah sudah mengeluarkan cukup banyak kebijakan. Sebagian diantaranya adalah untuk menyelamatkan sektor perekonomian seperti stimulus usaha, keringanan pajak, potongan tagihan listrik, dan lain sebagainya. Sedangkan kebijakan yang terkait dengan penuntasan secara langsung pandemi itu sendiri masih sangat minim.
Mungkin yang "baru" terlihat adalah pembentukan konsorsium COVID-19 di bulan Maret 2020 lalu. Itupun progresnya masih belum menunjukkan sesuatu yang berarti. Berbeda dengan beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS) sudah memasuki tahap uji klinis ke manusia, bahkan China sebentar lagi sudah siap me-launching vaksin antivirus corona COVID-19 hasil karya para ilmuwannya. Indonesia sendiri masih dalam tahap memulai uji pada mamalia, belum sampai ke manusia. Perkiraan tercepat vaksin baru siap diproduksi oleh industri pada Februari 2021 mendatang. Masih lama.
Belum usai pandemi COVID-19, dan belum adanya vaksin untuk mengatasinya, baru-baru ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah memperingatkan dunia internasional kembali akan adanya bahaya pandemi lain terkait virus flu babi baru yang dinamai virus G4. Hal ini tentu butuh penyikapan yang lebih intens lagi. Jangan lagi mengulang kesalahan yang sama dengan meremehkan keberadaan virus tersebut seperti masa-masa awal pandemi COVID-19 terjadi di Indonesia.
Sangat buruk sekali penyikapan yang dilakukan oleh pemerintah waktu itu. Belum lagi jika membicarakan perihal potensi gelombang kedua COVID-19. Terkait gelombang kedua pandemi ini saya justru merasa aneh, apakah gelombang pertama pandemi COVID-19 di Indonesia sudah kita lalui? Mengingat beberapa pemberitaan menyebutkan bahwa Indonesia sebenarnya belum memasuki masa puncak pandemi. Dengan kata lain gelombang pertama COVID-19 di Indonesia sebenarnya belum usai.
Pandemi ini harus sesegera mungkin diakhiri. Masalahnya, para pemangku kebijakan di negeri ini seperti kehilangan akal untuk mengakhiri masa sulit ini segera. Tidak ada kebijakan pamungkas yang berupa terobosan baru yang menjadi solusi agar bagaimana supaya penanganan pandemi ini berhasil secara cepat, tepat, dan akurat. Jangan berbicara masalah anggaran dalam hal ini. "Anggarannya ada". Jangan-jangan kita hanya bisa menunggu tim tugas pembuat vaksin selesai Februari 2021 nanti. Ini yang mestinya dipikirkan oleh pemerintah negeri ini. Memikirkan sebuah cara akselerasi agar pandemi bisa tertangani lebih cepat.
Bangun mindset bahwa pandemi ini bisa diakhiri. Jangan terpaku oleh pernyataan WHO yang menyebut bahwa kita akan selamanya hidup bersama virus mematikan seperti ini. Kalau memang perlu anggaran penyelesaian vaksin ditambah, maka lakukan segera. Kita seharusnya tidak kekurangan orang pintar di negeri ini untuk membuat sendiri vaksin dalam waktu cepat. Buktinya, China bisa melakukannya. Lantas apa bedanya kita dengan mereka? Ini yang perlu digali lebih jauh. Cara berfikir kita harus lebih kreatif dan lebih visioner dibandingkan negara manapun di dunia ini.
Saya menangkap kesan bahwa kita kurang serius untuk mengakhiri pandemi COVID-19 yang sedang melanda Indonesia. Kita bisa melihat banyak sekali kekisruhan yang terjadi diluar urusan penuntasan COVID-19. RUU HIP, pembakaran bendera banteng, isu reshuffle, reklamasi, pemilihan kepada daerah (pilkada), dan segenap hal lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan penuntasan pandemi.
Mungkin yang mengesankan bahwa kita masih punya perhatian terhadap situasi ini adalah konferensi pers rutin untuk mempublikasikan jumlah korban terinfeksi baru setiap harinya. Sebatas itu. Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang marah-marah beberapa waktu lalu itu juga tidak terlalu merepresentasikan upaya mengahiri pandemi. Sebatas amarah atas efek pandemi saja yang belum terurus dengan baik. Negara ini kekurangan semangat untuk mengakhiri serangan virus corona COVID-19. Dan kita sebagai bagian dari masyarakat pun sepertinya turut andil terhadap hal itu. Tidak adakah keinginan dari kita untuk mengakhiri situasi "menyebalkan" ini?
Skenario Akhir Pandemi COVID-19
Bayangan apa yang kita miliki sekarang perihal situasi terkait pandemi COVID-19 ini kelak? Vaksi ditemukan dan pandemi tuntas? Percaya bahwa kita akan selamanya hidup bersama COVID-19? Atau tidak memiliki gambaran samasekali? Minimal mari kita tanyakan harapan terbesar kita terhadap hal ini. Dan sepertinya kita semua sepakat bahwa happy ending dari pandemi adalah pandemi ini tuntas samasekali dan kita bisa terbebas olehnya.
Tidak ada lagi kekhawatiran bahwa kita akan tertular virus saat beraktivitas diluar sana. Kalaupun terserang olehnya, hal itu bisa disembuhkan layaknya penyakit musiman pada umumnya. Berharap bahwa COVID-19 hanya menjadi sebuah penyakit biasa yang bisa diobati segera dengan obat toko atau berkunjung ke dokter tanpa birokrasi yang rumit dan berbelit. Mungkinkah? Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Hanya apakah kita mau mencari jalan menuju hal itu. Tapi kalau sebelum melangkah saja kita sudah terbius oleh propaganda bahwa kita tidak akan bisa kembali hidup normal seperti sediakala, maka percuma saja mengharapkan angan-angan besar itu. Kuatkan keyakinan dalam diri, dan mari berusaha mewujudkannya.
Ketimbang mengadakan lomba video new normal, mungkin lebih tepat mengadakan kompetisi riset untuk menemukan vaksin, membuat alat bantu penanganan COVID-19 yang kreatif dan efisien, dan lain-lain. Ada banyak sekali universitas hebat di negeri ini. Lebih banyak lagi orang-orang cerdas nan kreatif di negeri ini. Rumuskan secara terintergrasi penanganan pandemi, rumuskan strategi menyeluruh mulai dari langkah pengiring sembari menunggu vaksin selesai, serta beberapa hal lain yang membuat penuntasan pandemi tertata secara rapi dan sistematis.
Apakah hal ini sudah dilakukan sebelumnya? Kesan yang beredar di publik adalah kita mengatasi ini dengan serampangan, tergopoh-gopoh, dan tidak tertata secara sistematis. Barangkali strategi dirumuskan oleh yang bukan ahlinya. Ada kepentingan diluar penuntasan pandemi yang turut serta didalamnya, seperti kepentingan politis, keuntungan pribadi atau kelompok, dan elektabilitas. Apabila hal-hal semacam ini masih mendominasi langkah kita dalam menanggulangi pandemi, maka bersiap-siaplah untuk bertahan dalam situasi tanpa perubahan berarti.
Kita perlu untuk membicarakan hal yang lebih substansial terkait penanggulangan pandemi seperti membahas teknologi apa yang bisa mendukung upaya percepatan menuntaskan pandemi atau sejenisnya. Bukan malah meributkan urusan ganti mengganti kursi menteri. Apakah kebijakan reshuffle mampu mengusir COVID-19 dari negeri ini?
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Refferensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H