Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Serendah Itukah "Value" Pekerja Kita di Mata China?

26 Juni 2020   07:25 Diperbarui: 26 Juni 2020   07:49 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan sebuah pemberitaan dari media Korea Selatan (Korsel) yang mengatakan adanya praktik eksploitasi Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi Anak Buah Kapal (ABK) di kapal ikan milik China. 

Diberitakan bahwa disana terjadi praktik-praktik yang tidak manusiawi seperti tuntutan waktu kerja 30 jam nonstop, jatah minum hasil sulingan air laut dibanding warga China yang mendapatkan minum air mineral botol, hanya diberi makan ikan yang biasanya dipakai untuk umpan memancing, serta gaji yang sangat tidak sepadan dengan jerih payah para ABK. Kisaran gaji yang diterima ABK WNI hanya sekitar 120 dollar Amerika per bulan atau setara Rp 1,8 juta dengan kurs dollar Rp 15.000,-. 

Para ABK WNI yang bekerja di kapal ikan China ini tidak terlihat seperti tenaga kerja pada umumnya. Mereka lebih terlihat sebagai budak yang diperlakukan dengan semena-mena oleh pemilik kapal. Bahkan banyak tindakan diskriminatif yang diperlihatkan seiring perbedaan perlakuan terhadap ABK WNI dengan ABK asli warga China. 

Kasus ini menyeruak bulan Mei 2020 lalu dan pemerintah Indonesia sudah meminta otoritas China untuk mengungkap masalah ini. Meski belum jelas sekarang kelanjutannya seperti apa.

Baru-baru ini terlihat para Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China memasuki Indonesia melalui wilayah Kendari, Sulawesi Utara. Mereka rencananya akan menjadi tenaga ahli yang dipekerjakan guna merampungkan proyek pemurnian nikel yang terdapat di Konawe, Sulawesi Tenggara. 

Sebanyak 500 TKA asal China diperkirakan akan memasuki Indonesia untuk merampungkan proyek tersebut dengan dibantu juga oleh tenaga kerja lokal. Respon penolakan pun menyeruak terkait hal ini. Mulai dari anggapan bahwa lebih baik memaksimalkan keterampilan penduduk pribumi ketimbang mendatangkan warga asing, hingga besaran gaji yang dianggap tidak seimbang antara yang diterima pekerja lokal dengan TKA China. 

Menurut Duta Besar (Dubes) China untuk Indonesia, Wang Lipin, rata-rata upah pekerja China adalah sebesar US$ 30 ribu atau sekitar Rp 450 juta setahun (kurs dollar Rp 15.000). Jauh berbeda dengan yang diterima pekerja lokal yaitu sekitar 10 pesennya saja. Dengan kata lain, gaji TKA China sepuluh kali lipat sebih besar daripada upah yang diterima pekerja asli Indonesia. Kaget?

Terkait dengan hal ini pihak China kembali memantik kontroversi melalui pemaparan dubes-nya untuk Indonesia, Wang Lipin. Ia menyebut bahwa pekerja Indonesia kurang terampil dibandingkan pekerja asal negeri tirai bambu itu. Sehingga "wajar" kiranya apabila para pekerja mereka diberikan gaji sepuluh kali lebih tinggi daripada yang diterima pekerja lokal. 

Oleh sebab pernyataannya ini, sebagian kalangan menyebut bahwa China terlalu arogan dan cenderung merendahkan pekerja lokal. Bahkan Rizal Ramli menyebut bahwa pernyataan dubes China tersebut "agak kurang ajar" dan "tidak sepenuhnya benar".

Namun rasa tidak terima atas pernyataan meredahkan sang dubes China itu sepertinya belum direspon apapun oleh pihak istana. Beberapa waktu lalu Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) justru terkesan memuji-muji China. Menurutnya, Indonesia butuh China. Dan Indonesia pun berhutang cukup besar kepada China, setidaknya sekitar 17,75 miliar dollar Amerika hingga periode September 2019. 

Juga terbukti keran investasi China begitu dibuka lebar. Salah satunya terkait proyek pemurnian nikel di Konawe itu. Yang mendatangkan 500 TKA China itu. Yang memicu pernyataan kontroversial dubes China itu. Apakah karena kedua hal itu lantas pemerintah kita kurang bersuara menyikapi pernyataan dubes China ini? Atau jangan-jangan ketika mereka nanti memberikan pernyataan, nadanya justru mengamini pernyataan sang dubes.

Menilik pemberitaan dimasa lalu ketika Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) pada tahun 2017 pernah mengakui kualitas pekerja Indonesia dibawah pekerja China maka aroma sikap dari pemerintah sekarang sudah bisa tercium akan seperti apa.

Haruskah kita Marah?

Terkait pernyataan dubes China yang terkesan merendahkan, meremehkan, dan arogan itu haruskah kita sebagai bangsa Indonesia marah dan tersinggung? 

Di satu sisi kita harus mempertahankan harga diri bangsa ini. Namun di sisi lain kita juga harus membuktikan bahwa kualitas bangsa Indonesia, kualitas pekerja Indonesia, keterampilan bangsa Indonesia tidak kalah dengan yang dimiliki oleh para pekerja China itu. Jadi tidak cukup dengan merasa tersinggung, tetapi juga harus dibarengi bukti bahwa pernyataan dubes China itu adalah salah.

Terkait dengan kualitas pekerja Indonesia, hal itu sebenarnya menjadi tanggung jawab dua pihak. Pertama, para pekerja sendiri yang mesti menyadari pentingnya upaya mengasah keterampilan dari waktu ke waktu sehingga setara dengan perkembangan zaman. Kedua, pihak pemerintah selalu yang bertanggungjawab mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) sebuah negara. 

Program-program kerja mereka harus bisa mengakomodasi upaya memperbaiki kualitas SDM dari tingkat yang paling dasar hingga yang paling tinggi.

 Saat ditemukan adanya pernyataan yang menyebut bahwa kualitas pekerja kita masih belum selevel dengan pekerja asing yang bekerja di Indonesia, maka hal itu seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah itu sendiri. 

Artinya, mereka harus lebih bekerja keras untuk mengerek kualitas SDM bangsa ini. Khususnya kualitas pekerja asli Indonesia agar lebih diakui dunia. Saya percaya bahwa bangsa Indonesia memiliki "value" yang lebih daripada yang dimiliki oleh bangsa lain. Mari kita tunjukkan itu.

Salam hangat,

Agil S Habib 

Refferensi :

[1]; [2]; [3]; [4]; [5]; [6]; [7]; [8]; [9]; [10]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun