Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ironi RUU HIP dan Kenyataan Indonesia (Masih) Berkutat pada Level Ideologi

17 Juni 2020   09:04 Diperbarui: 17 Juni 2020   09:07 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pancasila | Sumber gambar : www.timesindonesia.co.id / Istimewa

Di tengah hingar bingar penerapan new normal pada masa pandemi COVID-19 tiba-tiba sebuah pemberitaan menyeruak perihal rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara (RUU HIP) yang menjadi salah satu RUU inisitatif DPR. Narasinya, RUU ini dimaksudkan untuk mempertegas bahwa ideologi Bangsa Indonesia adalah Pancasila sekaligus menjadi penguat legalitas keberadaan Badan Pengarah Ideologi Pancasila (BPIP). 

Sebuah lembaga bentukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menurut penilaian beberapa kalangan keberadaannya tidak terlalu diperlukan. Sebagaimana kita tahu selama beberapa tahun terakhir ini sering sekali dijumpai konflik horisontal didalam masyarakat yang saling mempertentangkan banyak hal. 

Seakan menunjukkan hilangnya kehidupan bernegara yang guyub dan rukun. Padahal ada Pancasila, padahal ada BPIP. Lantas mengapa bisa terjadi demikian? Apalagi belakangan juga muncul narasi lain yang menyebut adanya gerakan akan berdirinya negara khilafah. Imbasnya, organisasi masyarakat (ormas) seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pun dibubarkan oleh pemerintah. 

Lalu kemudian muncul sebuah RUU yang dengan "gagah berani" tampil ke hadapan publik untuk menyatakan diri sebagai pemberi dukungan penuh akan eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa yang mesti dijadikan dasar dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. H

anya sayangnya RUU tersebut masih belum mengesankan narasi awalnya sebagai penguat Pancasila, malah justru terkesan melemahkannya. Entah karena draft rancangannya yang memang belum sempurna atau karena ada kepentingan terselubung yang bersembunyi dibalik gagasan munculnya RUUU HIP ini.

Pembahasan yang berkembang baru-baru ini banyak yang mempersoalnya perihal upaya penyempitan dan definisi Pancasila itu sendiri. Pancasila yang sudah begitu sempurna dengan lima silanya itu terkesan ingin disempitkan lagi. Lima sila dari Pancasila memiliki makna yang luar biasa. Mengutip sebuah tulisan yang dibuat olehMardigu Wowiek, apabila dikonversi dalam istilah internasional sila-sila dalam Pancasila meliputi Belief in God (sila pertama), Humanity (sila kedua), Nationality (sila ketiga), Democracy (sila keempat), dan Social Justice (sila kelima). 

Kelima sila tersebut tentu tidak sembarangan dirunutkan dengan urutan tersebut, Pasti ada maksud dari para founding father bangsa ini kepada generasi penerus agar menjalankan Pancasila sesuai dengan urutan tersebut. Bahwa dasar dan pijakan awal kita sebagai Bangsa Indonesia adalah keyakinan serta kepercayaan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. 

Prinsip ini mendasar sekali dan tidak mungkin digantikan oleh sesuatu yang lain seperti misalnya kebudayaan. Begitupun dengan sila-sila selanjutnya tidak bisa dirangkum dan diartikan secara semena-mena seperti gagasan Pancasila menjadi Trisila. Hal itu sungguh mengada-ada.

RUU HIP dengan draft yang ada saat ini bisa dibilang masih belum bisa merepresentasikan nilai-nilai penting dari Pancasila itu sendiri. Hal itu terlihat dari banyaknya penolakan dari segenap organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, bahkan hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun juga turut menyampaikan pandangan kontra terhadap RUU HIP. 

Belum lagi aksi demontrasi di beberapa tempat yang dengan tegas menolah RUU HIP gagasan DPR ini. Satu hal yang paling menonjol dari RUU HIP ini adalah potensi bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang selama beberapa tahun terkahir ini kembali hangat dibicarakan.Pancasila sebagai ideologi negara tentu sangat bertentangan dengan PKI yang berpaham atheis. Seandainya sila tentang Ketuhanan Yang Maha Esa itu dinarasikan berbeda melalui RUU HIP maka bukan tidak mungkin kebangkitan PKI akan benar-benar menjadi kenyataan.

Langkah Mundur

Satu hal yang menurut saya pribadi terasa ironis perihal keberadaan RUU HIP ini adalah bahwa ternyata bangsa ini masih terus berkutat pada level ideologi. Pada tingkatan pondasi negara. Seakan-akan kita masih belum memiliki dasar berbegara yang jelas seperti Pancasila sehingga lantas keberadaanya masih saja diusik. Padahal tidak berselang lama setelah proklamasi kemerdekaan republik ini, para pendiri bangsa sudah menyepakati Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indonesia. 

Kita selaku generasi penerus tidak perlu susah payah lagi menyiapkan pondasi. Cukup melakukan pembangunan demi pembangunan. Membangun Sumber Daya Manusia (SDM), membangun peradaban sosial, membangun teknologi, dan lain sebagainya. Jepang yang baru luluh lantak saja di tahun ketika Indonesia merdeka kini telah menjadi negara besar di dunia. 

Sedangkan kita masih tidak berjanjak terlalu jauh dibandingkan kondisi kita dahulu. Malah ada kesan berjalan mundur. Buktinya adalah riwuhnya bangsa ini untuk kembali mempersoalkan masalah ideologi. Sedangkan diluar sana bangsa-bangsa di dunia sudah ramai membicarakan ekspansi ke luar angkasa. Sungguh memilukan kalau tidak bisa dibilang memalukan.

Terlepas dari kontroversi pembahasan RUU HIP dengan segala argumentasi urgensi keberadaannya ataupun narasi betapa tidak pentingnya RUU itu dibuat, satu hal terlihat jelas disini bahwa kita masih membahas sesuatu yang tidak perlu dibahas. Pandemi COVID-19 telah memaksa dunia untuk mengubah kebiasaan dan menatap cara hidup yang baru. 

Amerika Serikat (AS) sedang mengupayakan dominasinya kembali di bidang ekonomi melalui jargon "Make America Great Again" usungan Donald Trump. Sedangkan China terus berupaya memperbesar eksistensinya yang selama beberapa tahun terakhir berhasil menggeser pamor AS. China bahkan berani secara terang-terangan meladeni tantangan "perang" pihak AS. Sedangkan kalau ditelisik jauh kebelakang, pada tahun 1980-an mereka termasuk negara yang miskin. Dibandingkan dengan kondisi Indonesia sekarang, kita sudah sangat jauh tertinggal oleh mereka.

Hampir setiap tahun, setiap berganti presiden gembar-gembor bahwa Indonesia adalah bangsa besar yang punya potensi luar biasa untuk mendominasi dunia terus digaungkan. Belum lagi apabila menyinggung jejak sejarah masa lalu nenek moyang bangsa ini yang memang sangat luar biasa. 

Tapi sebanyak itu pula hal itu terbatas pada kata-kata dan minim realita. Kita tidak punya program pengembangan bangsa ini yang revolusioner. Justru kebanyakan bergelut dalam intrik politik, konflik kepentingan, dan lebih ironis lagi masih mempertentangkan ideologi. Hei, bangun! Ini sudah tahun 2020. Ideologi itu seharusnya dibahas tahun 1940-an, bukan sekarang. Pancasila itu sudah final. Untuk apa dipersoalkan lagi. Lupakan RUU HIP. Kalau perlu lupakan juga BPIP. Alihkan fokus pada aspek pembangunan yang sebenarnya. Saatnya mengalihkan pandangan kita ke "langit".

Salam hangat,

Agil S Habib 

Refferensi :

[1]; [2]; [3]; [4]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun