Sulit berkata-kata lagi untuk menyebut bahwa kasus Novel Baswedan ini memang penuh dengan sandiwara. Dan sandiwara itu kini memasuki masa-masa akhir dengan "adegan" yang menyesakkan mata. Bukannya diisi oleh narasi cerdas tapi justru penuh hal-hal konyol yang menentang logika moral dan juga empati seorang manusia.Â
Betapa tidak, kasus yang jelas-jelas membuat orang sengsara justru dianggap tidak memiliki unsur kesengajaan. Pertanyaan saya, dari mana Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengetahui bahwa aksi mencederai mata Novel Baswedan itu adalah sebuah perbuatan yang tidak memiliki unsur kesengajaan? Â
Bagaimana JPU begitu yakin bahwa pelaku penyiraman hanya berniat menyiramkan air keras ke badan Novel Baswedan tanpa berniat melukai mata? Fakta persidangan seperti apa yang dipahami oleh JPU sehingga pendapat semacam itu muncul? Jangan-jangan itu semua hanya didasari oleh pengakuan kedua tersangka saja atau saksi yang melihat berdasar persepsi masing-masing.Â
Dalih apapun yang diutarakan dalam persidangan, faktanya adalah mata kiri Novel Baswedan kini mengalami cacat permanen dan mata kanannya hanya berfungsi 50% saja. Tidakkah hal itu membuat para aparat penegak hukum menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dari tindak kriminal ini?
Sebuah unggahan berisi lemahnya (atau kalau tidak bisa dibilang) hilangnya keyakinan Novel terhadap keadilan penegakan hukum di negeri ini. Sepertinya "Mata Novel" masih belum seampuh Mata Najwa yang sempat membuat para wakil rakyat kelimpungan dan meradang oleh narasinya beberapa waktu lalu itu. Tapi haruskah Novel mengemis dan mengiba untuk memperoleh keadilan atas dirinya sendiri?
Jika kita berada pada posisi Novel Baswedan maka apa yang akan kita lakukan? Diperlakukan tidak sepatutnya seperti ini. Wajar apabila Novel kemudian mengeluh melalui cuitannya, "Keterlaluan mmg... sehari2 bertugas memberantas mafia hukum dgn UU Tipikor.. tetapi jadi korban praktek lucu begini.. lebih rendah dari org menghina.. pak @jokowi, selamat atas prestasi aparat bapak. Mengagumkan...". Jasa Novel Baswedan selama ini yang dengan sekuat tenaga memberantas tindak pidana korupsi seperti tidak dianggap. Ia menjadi korban konspirasi picik yang dengan begitu tega merengguk matanya yang berharga.
Akhirnya ia hanya bisa berkeluh kesah atas ketidakberdayaannya melihat hukum dipermainkan. Novel hanya bisa menunggu hari penghakiman yang sesungguhnya untuk menyaksikan pertanggungjawaban para oknum yang turut memainkan keadilan atas kasusnya.Â
Boleh jadi para tersangka menyatakan sudah meminta maaf kepada keluarga, sehingga lantas JPU mempertimbangkan untuk memberikan tuntutan teramat sangat ringan kepada pelaku penyiraman. Cukup 1 tahun penjara. Mungkin lain ceritanya andai tuntutan 1 tahun penjara itu disertai dengan hukuman disiram air keras (juga) pada muka kedua pelaku penyiraman.
Salam hangat,
Agil S HabibÂ