Halusinasi atau tidak namun kenyataan menunjukkan sesuatu yang benar-benar luar biasa perihal kelanjutan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, dimana dua pelaku penyiraman hanya dituntut hukuman satu tahun penjara atau kurang lebih 360 hari saja. Jauh lebih sedikit dibandingkan waktu "perburuan" untuk mengungkap misteri kasus tersebut yang memakan waktu hingga 989 hari atau hampir sekitar 3 tahun.Â
Melihat efek kerugian yang dirasakan langsung oleh korban dimana Novel Baswedan harus mengalami cacat mata permanen, kemudian potensi terhambatnya tindak penyidikan korupsi yang diemban oleh Novel Baswedan, dan efek menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum khususnya perihal pengungkapan kasus Novel Baswedan maka para pelaku penyiraman lebih dari pantas untuk mendapatkan tuntutan hukuman yang jauh lebih berat ketimbang yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) itu.
Dengan segenap pertimbangan jaksa seperti kedua pelaku bersikap kooperatif, belum pernah dihukum, mengakui perbuatan, dan mengabdi sebagai anggota Polri selama 10 tahun sehingga lantas hanya memberikan tuntutan 1 tahun penjara hal itu terdengar sangat lucu kalau tidak bisa dibilang ironis. Beberapa kalangan sontak menyebut hal ini sebagai kedunguan, merobek-robek keadilan, hingga sandiwara hukum. Pihak kuasa hukum Novel Baswedan sejak awal sudah menyebutkan adanya kejanggalan dalam proses persidangan kasus ini.Â
Pertama, adanya upaya menafikan fakta kejadian yang sebenarnya dimana kasus penyiraman tersebut berpotensi menyebabkan seseorang meninggal dunia. Sehingga pasal yang yang didakwakan semestinya bukan pasal penganiayaan, melainkan pasal pembunuhan berencana.Â
Kedua, tim kuasa hukum Novel menyebut beberapa saksi penting tidak dihadirkan ke persidangan. Padahal saksi-saksi tersebut sebelumnya sudah pernah diperiksa oleh penyidik Polri, Komnas HAM, hingga tim Pencari Fakta bentukan kepolisian. Â Â Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa ada sesuatu yang sengaja ditutup-tutupi dari kasus ini.
Keadilan di negeri ini seperti kehilangan martabatnya apabila melihat kasus Novel Baswedan ini. Kasus yang begitu membikin risau publik karena dinilai mencederai semangat penegakan hukum ini justru berakhir antiklimaks. Seperti ada banyak hal yang mengganjal dan ditutup-tutupi dari kasus ini. Kasus yang begitu menjadi misteri begitu lama untuk menemukan titik terang, tiba-tiba seperti tersingkap begitu saja.Â
Bahkan beberapa kalangan menduga adanya keanehan dibalik penangkapan kedua pelaku oleh pihak kepolisian. Kini, keanehan itu kembali berlanjut dengan pemberian tuntutan yang hanya 1 tahun penjara oleh JPU. Sulit untuk berkata-kata dalam menyikapi perkembangan kasus ini. Antara ingin mengelus dada atau ingin memaki-maki.
Memang kita masih harus menunggu seperti apa nanti vonis yang akan dijatuhkan oleh hakim dalam memutus perkara ini. Apabila vonisnya memang sesuai tuntutan JPU atau bahkan lebih ringan lagi, maka Novel dan juga juga semua orang yang kecewa terhadap penuntasan kasus ini hanya bisa berharap keadilan Tuhan di Hari Penghakiman kelak. Hari dimana kesalahan sebesar atom saja mendapatkan balasan setimpal.Â
Namun jika ternyata hakim membuat "kejutan" dalam vonisnya yang membuat kita semua bersorak sorai gembira maka mungkin itu akan menjadi titik balik kembalinya keadilan di negeri ini. Dan untuk saat ini kita hanya bisa menunggu kapan vonis itu dijatuhkan hakim persidangan sembari menahan dongkol atas tuntutan JPU yang sungguh "terlalu". Satu lagi, sambil berharap Pak Presiden menggunakan hatinya untuk menilai penuntasan kasus ini.
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Refferensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H